Kamis 13 Oct 2022 11:55 WIB

Soal Pemberian Uang dalam Kasus AW-101, Penasihat Hukum Eks KSAU: Tendensius

Penasihat hukum eks KSAU duga dakwaan ke kliennya sebagai pesanan.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Indira Rezkisari
Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal (Purn) Agus Supriatna terlilit kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW-101.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal (Purn) Agus Supriatna terlilit kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW-101.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna merespons terkait dakwaan kasus korupsi pengadaan Helikopter AW-101. Dalam dakwaan tersebut, terdakwa John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh mengaku memberi uang sebesar Rp 17,7 miliar kepada Agus Supriatna.

Penasihat hukum Agus, Pahrozi membantah dakwaan tersebut. Dia mengatakan bahwa kliennya tidak pernah menerima uang dari Irfan Kurnia Saleh seperti yang disebutkan dalam dakwaan jaksa.

Baca Juga

"Saya selaku penasihat hukum menolak keras dakwaan ini, karena klien saya tidak pernah menerima uang yang dituduhkan itu, tidak pernah melihat uang yang dituduhkan itu, tidak pernah ada janji dari swasta atas uang yang dituduhkan itu," kata Pahrozi kepada wartawan, Kamis (13/10/2022).

Pahrozi menyebut, dakwaan itu sangat tendensius. Ia pun mengeklaim bahwa tuduhan tersebut tidak benar.

"Dakwaan ini sangat tendensius. Kita bicara dakwaan, dakwaan itu kan tuduhan, dalil. Sangat tendensius," ujarnya. "Saya menyatakan, dakwan itu tidak benar, dakwaan itu tendensius."

Dia menduga bahwa dakwaan ini adalah pesanan pihak tertentu. Namun, ia enggan merinci siapa pihak yang dimaksud. "Patut diduga kuat merupakan pesanan," kata Pahrozi.

Selain itu, menurut dia, dakwaan ini menggambarkan ketidakprofesionalan pihak jaksa. Sebab, jelas Pahrozi, dalam dakwaan tersebut tidak ada kata yang menguraikan bahwa Agus Supriatna menerima uang dari terdakwa.

"Yang ada hanya kata-kata diberikan. Namun, tidak ada kalimat sambungannya menerima atau Pak Agus menerima, gitu," ungkap Pahrozi.

"Padahal secara teknis pembuktian, kalau menyangka orang, menuduh orang ada dugaan menerima, pastikan secara teknis ada transaksi, ada penyerahan uang," imbuhnya.

Sebelumnya, jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) mendakwa Direktur PT Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway melakukan korupsi yang merugikan negara hingga Rp 738 miliar. Irfan terjerat kasus pengadaan helikopter angkut AW-101 untuk TNI AU.

"Melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum. Yaitu telah melakukan pengaturan spesifikasi teknis pengadaan helikopter angkut AW-101, melakukan pengaturan proses pengadaan helikopter angkut AW-101, menyerahkan barang hasil pengadaan berupa helikopter angkut AW-101 yang tidak memenuhi spesifikasi," kata JPU KPK, Arief Suhermanto ketika membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat pada Rabu (12/10/2022).

Irfan didakwa melakukan kejahatannya bersama sejumlah pihak, termasuk dari pucuk pimpinan TNI AU. Irfan didakwa salah satunya memperkaya eks Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) periode 2015-2017 Marsekal (Purn) Agus Supriatna. Uang itu disebut sebagai dana komando (dako).

"Serta memberikan uang sebesar Rp 17,7 miliar sebagai dana komando untuk KSAU Agus Supriatna yang diambilkan dari pembayaran kontrak termin ke satu," ujar Arief.

Irfan didakwa melakukan aksi kejahatannya bersama pihak lainnya, yaitu Head of Region Southeast Asia Leonardo Helicopter Division Agusta Westland Products Lorenzo Pariani, Direktur Lejardo Bennyanto Sutjiadji, Marsekal (Purn) Agus Supriatna, Kepala Dinas Pengadaan AU (2015-Juni 2016), Marsma Heribertus Hendi Haryoko dan Kepala Dinas Pengadaan AU (Juni 2016-Februari 2017) Marsma Fachri Adami.

Dua perusahaan yang disebut turut menikmati hasil korupsi Irfan. Terdakwa Irfan dijerat memperkaya dua korporasi luar negeri, yaitu Agusta Westald senilai Rp 381 miliar dan Lejardo senilai Rp 146 miliar. Sedangkan Irfan tak luput dari mengeruk keuntungan pribadi dari kasus pembelian helikopter VVIP tersebut. "Memperkaya diri sendiri sebesar Rp 183 miliar," sebut Arief.

Akibat kejahatan tersebut, sambung dia, negara disebut mengalami kerugian yang luar biasa. Penghitungan kerugian negara sudah dilakukan oleh ahli dari unit Forensik Akuntansi Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi pada KPK. "Merugikan keuangan negara sebesar Rp 738 miliar," ucap Arief.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement