REPUBLIKA.CO.ID, KATHMANDU -- Sebanyak 29 pelari memulai balapan di dataran tinggi yang langka di Bhutan pada Kamis (13/10/2022). Perlombaan ini menyoroti bahaya perubahan iklim bagi kerajaan Himalaya yang terjepit di antara China dan India yang menjadi dua pencemar terbesar di dunia.
Bhutan memiliki hutan yang menutupi 70 persen dari daratannya dan menyerap hampir tiga kali lebih banyak emisi perubahan iklim daripada yang dihasilkan negara itu dalam setahun. "Perlombaan ini dirancang untuk meningkatkan kesadaran tentang perubahan iklim dan risikonya terhadap ekonomi kita dan mata pencaharian masyarakat," kata Menteri Luar Negeri Tandi Dorji setelah memulai perlombaan di kota barat laut Gasa.
Penyelenggara acara mengatakan. para pelari akan membutuhkan waktu lima hari untuk menyelesaikan Snowman Race sepanjang 203 km dari Gasa ke kota timur laut Chamkhar. Jalur tersebut biasanya membutuhkan waktu hingga 20 hari bagi para trekker.
Pembalap dari 11 negara termasuk Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Tanzania dan Bhutan, akan berlari di ketinggian rata-rata 4.500 meter, dengan titik tinggi 5.470 meter. Rute ini akan membawa mereka melalui beragam medan mulai dari hutan sub-tropis hingga ekosistem dataran tinggi yang rapuh, dengan beragam flora dan fauna, serta manusia dan budaya.
"Saya mungkin telah menyelesaikan sekitar 30 maraton ultra, tetapi tidak pernah seperti ini," kata pelari Amerika Sarah Keyes kepada kantor berita yang dikelola pemerintah Bhutan Bhutan Broadcasting Service.
"Ini akan menjadi sesuatu yang tidak diketahui untuk pergi ke ketinggian itu, tapi saya merasa baik secara keseluruhan, secara fisik," kata Keyes.
Satu-satunya negara karbon-negatif di Asia Selatan dengan populasi kurang dari 800.000 orang ini rentan terhadap dampak perubahan iklim. Perubahan iklim mempercepat pencairan gletsernya dan menyebabkan banjir dan pola cuaca yang tidak dapat diprediksi.
Pakistan yang berada di ujung barat Himalaya dilanda banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun ini. Negara itu menghadapi bencana akibat hujan lebat yang luar biasa dan limpasan yang lebih cepat dari gletsernya. Pemerintah Islamabad dan PBB menyalahkan kondisi itu akibat perubahan iklim.