REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak pemerintah mengusut kasus 131 balita dari 14 provinsi yang mengalami gangguan ginjal misterius sepanjang 2022. Kemungkinan peredaran obat batuk dari India menjadi penyebabnya dinilai juga perlu diselidiki.
"Ini tidak main-main, Kemenkes harus tegas bila benar obat ini bisa lepas dari pengawasan perizinan dan pengedaran," kata Kepala Divisi Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi KPAI Jasra Putra dalam keterangan, di Jakarta, Kamis (13/10/2022).
KPAI meminta semua industri obat-obatan menghentikan produksinya bila obat tersebut berasal dari India atau izinnya melalui perusahaan obat tertentu. Jasra menyebut harus segera ada ketegasan dan kejelasan untuk menyetop dan mencegah peredaran obat tersebut.
"Jangan sampai masih tersebar luas, masih bisa dibeli, menjadi promosi obat, donasi obat, dan sebagainya," ujar Jasra.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga diminta untuk mengawasi dan mengendalikan peredaran obat yang diduga berdampak fatal pada kesehatan anak. KPAI menuntut pertanggungjawaban peredaran dan perizinan obat tersebut.
"Tentu sangat mengerikan jika menjadi 131 orang tua yang anaknya mengalami ini," kata Jasra.
Obat tersebut diduga sudah beredar sejak Januari 2022. Pihaknya menyerukan agar Kemenkes, BPOM, dan industri obat-obatan Indonesia lebih berhati-hati dan selektif agar peristiwa serupa tidak terulang di kemudian hari.
Terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia mengungkapkan bahwa pihaknya telah membentuk tim terdiri atas Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk penyelidikan dan penanganan kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak. Berdasarkan catatan Kemenkes, pada September ada 40 kasus dan tambahan kasus per 3 Oktober 2022 sebanyak tiga kasus.
Total pasien yang masih dalam proses penanganan saat ini berjumlah 40 anak usia balita hingga delapan tahun. Menurut Nadia, hasil pemeriksaan laboratorium Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK), hingga kini tidak ditemukan bakteri atau virus yang spesifik dalam kasus gangguan ginjal akut misterus tersebut.
Sekertaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI, dr Eka Laksmi Hidayati SpA(K) mengungkapkan, IDAI saat ini terus melakukan investigasi terkait penyebab pasti gangguan ginjal akut misterius. Pihaknya juga mencari tahu apakah ada hubungannya dengan mengonsumsi obat tertentu.
"Kami belum bisa menyimpulkan hasil investigasi yang sudah banyak kami lakukan, apakah ada kaitannya dengan obat seperti kasus di Gambia," ujar dr Eka dalam kesempatan terpisah.
Menurut dr Eka, IDAI juga sudah investigasi obat-obatan yang beredar. Hanya saja, di Indonesia tidak ada obat-obatan serupa dengan yang ada di Gambia.
"Kami juga sudah cek peredaran obat-obat yang diproduksi di India, tidak ada obat itu yang diproduksi di Indonesia, bahan baku juga tidak ada dari India," kata dr Eka.