REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Negara pasar berkembang turut terkena imbas reli penguatan dolar AS. Namun, dampaknya lebih minim dibandingkan yang dialami negara-negara kaya.
Salah satu faktor yang menopang kinerja pasar berkembang yaitu kenaikan harga komoditas. Seperti diketahui, sebagian besar negara berkembang merupakan produsen komoditas.
"Produsen komoditas masih berkinerja relatif baik dibandingkan dengan zona euro atau Kelompok 10," kata kepala strategi pasar berkembang Citigroup Dirk Willer dilansir Bloomberg, Senin (17/10/2022).
Willer mengatakan negara-negara berkembang berhasil dalam mengatasi beberapa volatilitas akibat pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS Federal Reserve. Mata uang Brasil dan Meksiko mampu memikat investor dengan hasil yang menarik. Sebaliknya, Inggris dan sebagian besar negara Eropa justru mengalami kerugian yang besar.
Saat dunia bergerak dari krisis ke krisis, mulai dari perang di Ukraina hingga tekanan energi di Eropa dan gejolak politik di Inggris, reputasi negara maju sebagai tujuan investasi yang lebih aman telah terpukul. Menurut indeks JPMorgan Chase & Co, volatilitas dalam mata uang negara kelompok G7 telah melonjak di atas pasar negara berkembang untuk pertama kalinya sejak Maret 2020.
Tak satu pun dari mata uang negara kelompok G-10 memiliki tingkat bunga di atas 3 persen. Sementara negara berkembang menawarkan lebih tinggi seperti Indonesia 4,25 persen, termasuk yang terendah, dan tingkat bunga di Brasil melebihi 13 persen.
"Beberapa bank sentral pasar berkembang cukup awal untuk menaikkan suku bunga mulai pertengahan 2021. Ini adalah contoh yang bagus agar dapat berjalan jauh di pasar," kata ahli strategi suku bunga di Columbia Threadneedle Investments, Lin Jing Leong.