REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI berencana menjatuhkan sanksi kepada bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menggandakan data pendukung. Sanksinya berupa pengurangan dukungan 50 kali lipat dari jumlah data ganda yang ditemukan.
"Sanksi pengurangan jumlah dukungan sebanyak 50 kali temuan data yang digandakan," kata Komisioner KPU Idham Holik membacakan salah pasal dalam Rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota DPD, di kantor KPU, Jakarta, Senin (17/10/2022).
Secara sederhana, apabila seorang bakal calon menggandakan 20 data pendukung maka dukungannya bakal dikurangi 1.000. Sanksi semacam ini bakal membuat bakal calon berpikir dua kali sebelum memanipulasi data mengingat besarnya jumlah dukungan yang harus dikumpulkan.
Berdasarkan Pasal 183 UU Pemilu, setiap bakal calon anggota DPD yang mencalonkan di provinsi dengan jumlah pemilih di bawah 1 juta harus mengumpulkan dukungan minimal 1.000. Minimal 2 ribu dukungan untuk provinsi dengan pemilih berjumlah 1 juta-5 juta.
Minimal 3 ribu untuk provinsi dengan pemilih 5 juta-10 juta. Minimal 4 ribu untuk provinsi dengan pemilih 10 juta-15 juta. Provinsi dengan pemilih di atas 15 juta, maka calon anggota DPD harus punya dukungan minimal 5 ribu.
Sebagai contoh, jumlah pemilih di DKI Jakarta pada Pemilu 2019 sebanyak 7,2 juta orang. Artinya, calon anggota DPD Jakarta ketika itu harus mengumpulkan dukungan dari 3 ribu orang minimal.
Selain soal data ganda, lanjut Idham, PKPU ini juga mengatur soal pencatutan nama masyarakat sebagai pendukung calon anggota DPD. Masyarakat bisa mengecek apakah namanya dicatut atau tidak dengan memasukkan nomor NIK di laman infopemilu.kpu.go.id.
"Jika nanti ada pemakaian KTP (tanpa izin), masyarakat bisa membuat pengaduan di website tersebut," kata Idham saat acara uji publik atas PKPU tersebut.