REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Enam partai politik yang gagal lolos tahap pendaftaran calon peserta Pemilu 2024 menuding Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI melakukan genosida politik. Dua lembaga negara penyelenggara pemilu itu sepakat menolak tudingan tersebut.
"Terkait dengan istilah yang digunakan, dalam hal ini 'political genocide', saya sama sekali belum mendapat penjelasan terkait dengan hal tersebut dan saya belum memahami terkait maksud pesan politik tersebut," ujar Komisioner KPU RI Idham Holik kepada wartawan, Senin (17/10) malam.
Menurut Idham, pihaknya sudah melaksanakan pendaftaran dan verifikasi partai politik sesuai UU Pemilu dan peraturan teknis KPU. Hal ini dikuatkan dengan menangnya KPU dalam sidang gugatan di Bawaslu terkait dugaan pelanggaran administrasi, yang dilayangkan oleh sembilan partai yang tidak lolos pendaftaran.
Dalam seluruh perkara itu, Bawaslu memutuskan bahwa KPU RI tidak terbukti melakukan pelanggaran administrasi pemilu. "Apa yang menjadi putusan Bawaslu menegaskan bahwa pelaksanaan pendaftaran partai politik telah sesuai dengan aturan yang berlaku," kata Idham.
Hal senada disampaikan pihak Bawaslu RI. "Yang jelas, Bawaslu sudah menjalankan (penangan perkara) sesuai dengan mekanisme, sebagaimana diatur undang-undang dan Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2018 tentang pelanggaran administrasi," ucap Komisioner Bawaslu RI, Puadi, Senin.
Sebelumnya, Partai Perkasa, Partai Masyumi, Partai PANDAI, Partai Pemersatu Bangsa, Partai Kedaulatan, dan Partai Reformasi menyebut KPU-Bawaslu melakukan tindakan tidak jujur dan tidak adil dalam proses pendaftaran. Enam partai gagal itu menilai, KPU-Bawaslu melakukan "perampasan" hak konstitusional partai yang telah mendaftar secara resmi sebagai calon peserta Pemilu 2024.
Enam partai itu merasa dihambat oleh Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), sistem untuk menghimpun data keanggotaan partai politik pendaftar Pemilu 2024. Sebab, penggunaan Sipol tidak diatur dalam UU Pemilu, melainkan hanya lewat Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022.
"KPU adalah pelaksana norma hukum, bukan pembuat norma hukum, maka Sipol KPU sebagai bentuk 'diskresioner' KPU tidak bisa dijadikan norma yang mengikat parpol calon peserta pemilu yang kemudian bisa menghalangi hak parpol untuk menjadi parpol peserta pemilu," ungkap Ketua Umum Partai Masyumi, Ahmad Yani dalam keterangannya, Senin.
Enam partai itu juga mengecam KPU RI yang tidak mengatur diterbitkannya berita acara kepada 16 partai politik yang berkas pendaftarannya dinyatakan tidak lengkap. Padahal, dokumen berita acara adalah syarat utama untuk mendaftarkan gugatan di Bawaslu RI.
Yani menuding, tindakan KPU itu merupakan upaya terstruktur, masif dan sistematis untuk membasmi 16 partai politik. "Hal ini membuktikan bahwa KPU dan Bawaslu telah melakukan kegiatan yang kami sebut sebagai 'political genocide' secara terstruktur, masif dan sistematis," ujarnya.