Rabu 19 Oct 2022 00:47 WIB

Data Stasiun Luar Angkasa Tunjukkan Debu Berkontribusi Terhadap Perubahan Iklim

Debu di udara dapat memiliki efek pendinginan di atmosfer bumi.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Ani Nursalikah
Untuk pertama kalinya, para astronom mendeteksi badai plasma yang kuat di atmosfer atas Bumi. ilustrasi. Data Stasiun Luar Angkasa Tunjukkan Debu Berkontribusi Terhadap Perubahan Iklim
Foto: live science
Untuk pertama kalinya, para astronom mendeteksi badai plasma yang kuat di atmosfer atas Bumi. ilustrasi. Data Stasiun Luar Angkasa Tunjukkan Debu Berkontribusi Terhadap Perubahan Iklim

REPUBLIKA.CO.ID, KALIFORNIA -- Peta baru komposisi kimia debu berdasarkan pengukuran yang diambil dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) akan membantu para ilmuwan memahami jenis mineral mana yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Dua peta baru dibuat dari pengukuran yang dilakukan oleh instrumen Earth Surface Mineral Dust Source Investigation (EMIT), yang terbang ke ISS pada Juli.

Dilansir dari Space, Senin (17/10/2022), mereka menggambarkan komposisi kimia mineral yang menutupi permukaan tanah di dua wilayah di planet kita-barat laut Nevada di Amerika Serikat (AS) dan negara Afrika utara dari Libya. Dengan memetakan sidik jari mineral permukaan bumi dari luar angkasa, para ilmuwan bertujuan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang efek berbagai jenis debu terhadap suhu atmosfer bumi.

Baca Juga

Di daerah kering seperti gurun-gurun yang luas, sejumlah besar debu dapat terbawa oleh angin dan diangkut melintasi jarak yang sangat jauh. Berdasarkan komposisi kimia dari debu, kehadirannya di udara dapat memiliki efek pendinginan di atmosfer bumi.

Itu bisa berperan dalam kemajuan perubahan iklim. Namun, saat ini, para ilmuwan tidak tahu jenis debu apa yang memiliki efek seperti apa dan apakah semua debu atmosfer dunia yang digabungkan berkontribusi terhadap pemanasan atau pendinginan.

Dua peta pertama yang dibuat menggunakan pengukuran EMIT akan membantu peneliti mengkalibrasi instrumen sebelum pemetaan dapat dimulai secara nyata. Wilayah di barat laut Nevada juga dipetakan dari sebuah pesawat pada 2018. Dengan membandingkan dua aset pengukuran, tim Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) dapat memastikan bahwa instrumen EMIT akurat.

EMIT adalah spektrograf, yang mengukur bagaimana material menyerap radiasi elektromagnetik di berbagai panjang gelombang. Dengan menciptakan spektrum penyerapan cahaya seperti itu, para ilmuwan dapat menyimpulkan efek bahan yang berbeda pada suhu udara.

"Data yang kami dapatkan dari EMIT akan memberi kami lebih banyak wawasan tentang pemanasan dan pendinginan Bumi, dan peran debu mineral dalam siklus itu,” kata Kate Calvin, kepala ilmuwan dan penasihat iklim senior NASA, dalam sebuah pernyataan. "Sangat menjanjikan untuk melihat jumlah data yang kami dapatkan dari misi dalam waktu yang singkat.”

Menurut Robert Green, peneliti utama EMIT dan ilmuwan peneliti senior di Jet Propulsion Laboratory NASA di California Selatan, EMIT memberikan 300.000 spektrum per detik yang mencengangkan. "Beberapa dekade yang lalu, ketika saya masih di sekolah pascasarjana, butuh 10 menit untuk mengumpulkan spektrum tunggal dari sampel geologi di laboratorium," komentar Green.

Selama misi satu tahun, EMIT akan membuat miliaran pengukuran seperti itu yang mencakup seluruh dunia, memungkinkan para ilmuwan untuk meningkatkan model perubahan iklim mereka dengan memasukkan variabel yang saat ini hilang — interaksi debu dengan sistem Bumi.

"Dengan kinerja luar biasa ini, kami berada di jalur yang tepat untuk memetakan mineral di daerah kering Bumi secara komprehensif - sekitar 25 persen  dari permukaan tanah Bumi - dalam waktu kurang dari setahun dan mencapai tujuan ilmu iklim kami," kata Green.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement