REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teth Adam (Dwayne Johnson) hidup di Kahndaq pada era kuno yang ada di bawah penindasan. Adam menggunakan kekuatan yang didapat dari para dewa untuk mengalahkan penguasa kejam, lalu tak ada lagi yang mengetahui riwayatnya.
Hampir 5.000 tahun telah berlalu, Kahndaq masih belum merdeka. Wilayah itu kini dikuasai penjajah modern yang menginginkan sumber dayanya. Saat itulah Teth Adam bangkit menjadi Black Adam, membuktikan dirinya bukan hanya mitos.
Black Adam punya versi keadilannya sendiri. Bentuk keadilan yang unik, lahir dari kemarahan dan kesedihan di tengah perbudakan. Itu bisa menyelamatkan banyak nyawa, tapi juga berpotensi mendatangkan bencana bagi dunia.
Film Black Adam yang tayang di bioskop Indonesia mulai 19 Oktober 2022 mengeksplorasi kisah sosok antihero tersebut. Selama 125 menit durasinya, ada sangat banyak adegan laga sinematik yang masif serta sedikit bumbu humor gelap.
Racikan itu menarik, terlebih jika menyimak film di layar besar dengan kualitas audio visual mumpuni. Hanya saja, ada terlalu banyak adegan slow motion. Efek visual itu hendak menonjolkan kekuatan deretan karakter dalam film, namun agak terkesan berlebihan.
Aksi Dwayne Johnson sebagai antihero Black Adam membuat film menyenangkan disimak. Bahkan jika seseorang tidak akrab dengan kisah-kisah dari komik DC atau jalan cerita film DC Extended Universe (DCEU) lain, Black Adam masih bisa dinikmati.
Ada banyak adegan pertarungan dan kekerasan, tetapi tidak terlalu brutal untuk sebuah film dengan rating 13 tahun ke atas. Hal menarik lain adalah cara sutradara Jaume Collet-Serra menyajikan visual Kahndaq kuno dan era saat ini yang sangat berbeda.