REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Kekhawatiran tentang perubahan iklim menyusut di seluruh dunia tahun lalu. Kurang dari setengah yang percaya tentang ancaman yang sangat serius dari perubahan iklim bagi negara mereka dalam 20 tahun ke depan.
Survei Gallup World Risk Poll menunjukkan pada Rabu (19/10/2022), hanya 20 persen warga di China yang menjadi negara pencemar di dunia mengatakan, percaya bahwa perubahan iklim adalah ancaman yang sangat serius. Hasil ini turun tiga poin persentase dari jajak pendapat sebelumnya pada 2019.
Survei ini didasarkan pada lebih dari 125 ribu wawancara di 121 negara. Secara global, angka tersebut turun 1,5 poin persentase menjadi 48,7 persen pada 2021. Pandemi Covid-19 dan kekhawatiran tentang masalah yang lebih mendesak seperti kesehatan dan mata pencaharian dapat menjelaskan penurunan tersebut.
Tapi, kesadaran perubahan iklim sedikit meningkat pada 2021 di Amerika Serikat yang menjadi pencemar global terbesar kedua, menjadi 51,5 persen. Wilayah dengan ancaman ekologis tertinggi rata-rata paling tidak peduli dengan perubahan iklim menunjukan yang mengkhawatirkan risikonya hanya 27,4 persen dari Timur Tengah dan Afrika Utara serta 39,1 persen responden Asia Selatan.
Temuan ini muncul menjelang putaran berikutnya pembicaraan iklim global ketika negara-negara bertemu di Mesir pada bulan untuk COP27. Namun terlepas dari kekhawatiran yang menyusut, tagihan ekologis dari perubahan iklim tumbuh secara global.
Sebuah studi oleh Institute for Economics and Peace dari 228 negara dan wilayah menemukan, 750 juta orang di seluruh dunia sekarang terpengaruh oleh kekurangan gizi dan perubahan iklim. Ditambah lagi dengan kenaikan inflasi dan perang Rusia di Ukraina akan memperburuk kerawanan pangan di masa depan.
Lebih dari 1,4 miliar orang di 83 negara menghadapi kekurangan air yang ekstrem, dengan lebih dari 20 persen populasi tidak memiliki akses ke air minum bersih. Beberapa negara Eropa diperkirakan akan mengalami kekurangan air bersih yang kritis pada 2040, termasuk Yunani, Italia, Belanda, dan Portugal, yang juga akan melanda sebagian besar Afrika sub-Sahara, Timur Tengah dan Afrika Utara.
Setiap tahun, polusi udara telah merugikan dunia 8,1 triliun dolar AS atau 6,1 persen dari produk domestik bruto global. Biaya global rata-rata bencana alam mencapai 200 miliar dolar AS per tahun, empat kali lebih tinggi dari pada 1980-an. Kondisi itu pun menyebabkan antara enam hingga sembilan juta kematian.
"Negosiator di COP27 perlu mempertimbangkan cara-cara di mana perubahan iklim memperburuk dampak ancaman ekologis ... dan bagaimana komunitas internasional dapat menguranginya," ujar pendiri institut yang berbasis di Sydney Steve Killelea.