REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Universitas Islam As-Syafiiyah bekerja sama dengan Perhimpunan INTI, Indonesia Diaspora Network-China, dan Kodipest, menggelar diskusi publik. Diskusi kali ini mengambil tema 'Hubungan dan Relasi Indonesia-Tiongkok dalam Sejarah Perkembangan Islam Damai Nusantara, Sebelum, Kini, dan Masa Depan'.
Sebagai narasumber dialog yang digelar Rabu (19/10), yakni Pimpinan Yayasan Pendidikan Universitas Islam As Syafl'iyah yang juga Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Prof Dailami Firdaus; serta Rektor Universitas Islam As Syafi'iyah, Dr. Masduki Ahmad, MM. Ada juga Tim Ahli Yayasan Pendidikan Universitas Islam As Syafl'iyah sekaligus juga Ketua Umum Indonesia Diaspora Network China, Prof Yenni Thamrin, dan Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam As Syafi'iyah, Dr Khairan M Arief.
Sementara sebagai penanggap yakni pengamat politik internasional dan kandidat Ph.D Hubungan Internasional Central China Normal University, Ahmad Syafuddin Zuhri; Pendiri dari program dan aplikasi Kodipest (Konten Digital Pesantren) sekaligus Direktur Utama PT CAIH Infotech Indonesia, Loretta Thamrin; dan Sekjen Perhimpunan INTI, Candra Jap.
Prof Dailami Firdaus berharap, diskusi yang digelar di Universitas Islam As-Syafiiyah (UIA) ini memberikan gambaran utuh tentang relasi Indonesia-Tiongkok dan hubungannya terhadap perkembangan Islam di Nusantara yang membawa kedamaian.
"Saya meminta jajaran UIA, agar kampus menjadi wahana terdepan dalam membawa misi penjajakan kerja sama internasional yang memungkinkan dapat dijalin sebagai upaya diseminasi kehidupan masyarakat Islam Indonesia ke panggung dunia," kata Prof Dailami , dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Rabu (19/10/2022).
Sementara Prof Yenni yang telah puluhan tahun tinggal di Tiongkok mengungkapkan, kekagumannya pada toleransi di masyarakat Indonesia. Katanya, muslim sebagai mayoritas penduduk Indonesia berhasil mengayomi warga lainnya dari berbagai latar agama, sehingga kehidupan masyarakat Indonesia berjalan damai dan harmonis.
"Selama puluhan tahun saya tinggal di China saya banyak berteman dengan teman-teman dari asosiasi muslim di China maupun suku-suku keturunan muslim yang ada di berbagai propinsi seperti Xinjiang dan Inner Mongolia. Setiap saat saya berada sama mereka, saya selalu merasakan damai dan ketenteraman yang membuat saya kangen dan rindu dengan tanah air Indonesia," kata Prof Yenni yang juga merupakan sahabat dekat pendiri Perguruan Islam As-Syafi'iyah, Tuty Alawiyah.
Dalam diskusi tersebut juga terungkap tentang perlakuan pemerintah Tiongkok terhadap warga muslimnya. Hal itu diungkap oleh AS Zuhri. Perlakuan khusus itu, kata dia, terlihat dari pemberian libur Idul Adha yang mencapai 3 hari lamanya untuk sejumlah daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
"Saat ini di Tiongkok ada sekitar 40 juta penganut muslim yang mayoritas beretnis Hui dan Uighur. Selama saya menempuh studi S2 dan S3 di China, kami tidak pernah khawatir dalam menjalankan agama di negeri yang menganut ideologi komunis ini. Agama adalah urusan privat dan selama kita juga menghormati aturan yang berlaku di daerah setempat. Kita akan merasa aman dan nyaman," kata AS Zuhri.
Sementara menurut Khairan M Arif, Tiongkok juga berperan terhadap masuknya Islam ke Nusantara. Ia menyebut, bahwa awal masuk agama Islam di Nusantara pada abad ke 7 atau 8 Masehi, melalui saudagar muslim yang membawa barang dagangannya melalui jalur sutra.
Saat itu, masyarakat Nusantara masih menganut animisme dan dinamisme. Bahkan, sebelum masuknya agama-agama besar lain seperti Hindu, Budha, dan Kristen.
Pendekatan ini, kata dia, dilakukan oleh para ulama terdahulu dengan metode atau cara berdagang dan berbisnis dengan penduduk lokal. Sehingga, terjadi interaksi sosial yang intensif antara para saudagar muslim tersebut dengan masyarakat setempat yang masih beragama animisme dan dinamisme sebelum datang agama agama besar lainnya seperti Islam, Hindu, Budha dan Kristen.
"Karenanya, bisa dibilang bahwa Islam di Indonesia dan China merupakan saudara dari masa masa jauh hari," kata Khairan menambahkan.
Loretta Thamrin sebagai penanggap diskusi mengungkapkan harapannya agar narasi-narasi baik tentang toleransi serta nilai-nilai persaudaraan antar pemeluk agama ini, dapat terdeliver dengan baik ke publik. Sehingga, bentuk perdamaian kehidupan masyarakat muslim baik di Indonesia maupun di Tiongkok dapat dilihat oleh masyarakat Indonesia-Tiogkok dan publik dunia.
"Melalui program dan aplikasi Kodlpest (Konten Digital Pesantren), kita berharap agar dapat mempertahankan dan meneruskan kebaikan ajaran kedamaian agama Islam pada anak anak penerus bangsa kita melalui platform digital sesuai dengan perkembangan teknologi," ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Islam As-Syafi'iyah, Dr Masduki Ahmad, berharap, dialog ini dapat lebih membuka wawasan bagi semua pihak. Serta, menjadi pintu untuk memfasilitasi pendirian pusat studi dan penelitian bersama agama Islam lndonesia dan Tiongkok di Universitas Islam As-Syafi’iya