REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengatakan niat Amerika Serikat (AS) untuk memperkuat posisi Kiev hanya akan membawa kehancuran bagi Ukraina. Seperti diketahui, AS memasok senjata untuk Ukraina melawan Rusia.
"AS memasok senjata untuk menghancurkan negara yang telah mereka urus (Ukraina) selama bertahun-tahun. Ini adalah kontradiksi yang sangat penting. Mereka tampaknya ingin memperkuat, tetapi semuanya mengarah pada hasil yang berlawanan... Posisi Washington, yang bergantung pada peningkatan konflik, mengarah pada kehancuran Ukraina," kata Zakharova di Radio Sputnik, Rabu (19/10/2022).
Dia mencatat bahwa banyak orang di Ukraina sudah memahami hal ini dan mengatakan bahwa AS tidak merencanakan perdamaian, kemakmuran, atau demokrasi di wilayah Ukraina.
"Mereka bermaksud menggunakan konflik sebagai batu loncatan, sebagai tempat latihan, sebagai alat," kata Zakharova.
Pernyataan itu muncul untuk menanggapi pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Eropa dan Eurasia Karen Donfried pada Selasa (18/10/2022) bahwa Washington bermaksud untuk memberi Ukraina posisi yang sangat kuat pada saat pembicaraan damai dengan Rusia dimulai.
"Kami akan terus membantu rakyat Ukraina dan memberi mereka dukungan untuk membantu mereka mempertahankan diri dan wilayah mereka dari invasi ilegal Rusia. Kami akan melakukan ini selama diperlukan," ujar Donfried.
Donfried mengatakan referendum adalah aksi propaganda untuk mencoba menutupi upaya sia-sia dalam perampasan tanah di Ukraina. Dia mengatakan bahwa hasil referendum telah diatur dan tidak mencerminkan keinginan orang-orang di Ukraina.
Donfried menegaskan bahwa AS tidak akan pernah mengakui pencaplokan Rusia atas wilayah Ukraina mana pun.
Pekan lalu, AS mengumumkan tambahan bantuan sebesar 725 juta dolar (sekitar Rp11,2 triliun) untuk kebutuhan pertahanan Ukraina. Pengumuman tersebut muncul beberapa hari setelah Rusia melakukan serangan udara di seluruh Ukraina, termasuk ibu kota Kiev.
Wilayah Donetsk dan Luhansk di Ukraina yang diduduki Rusia, serta bagian Zaporizhzhia dan Kherson yang juga dikuasai Rusia, mengadakan referendum untuk bergabung dengan Rusia pada 23-27 September 2022.
Moskow mengeklaim bahwa sekitar 98 persen pemilih ingin bergabung dengan Rusia, tetapi hasil referendum tersebut sangat diperdebatkan dan ditolak oleh Ukraina serta sekutu Baratnya. Jajak pendapat itu telah dikecam secara luas oleh komunitas internasional. Negara-negara Eropa dan AS menyebutnya sebagai referendum palsu dan menganggapnya pelanggaran hukum internasional.