REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai perlu ada keseriusan untuk bisa meningkatkan produksi gula dalam negeri guna mempercepat target untuk mencapai swasembada gula. Khudori menilai hingga saat ini aturan terkait gula dari hulu hingga hilir, mulai dari Undang-Undang Cipta Kerja hingga Peraturan Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian hingga Menteri Pertanian memiliki aturan tersendiri. Namun semuanya tak membuat target swasembada gula tercapai selama bertahun-tahun.
"Peraturan soal pergulaan di Indonesia ini sudah sangat banyak sekali, bahkan over regulated, kebanyakan dari Undang-Undang Perkebunan 2004 lalu direvisi 2014 dalam Undang-Undang Cipta Kerja, ada PP nya juga, belum lagi Kemenperin keluarin aturan, Kemendag, Kementan semuanya mengeluarkan aturan. Sebentar lagi rencananya ada Perpres Percepatan Swasembada Gula, terlalu banyak aturan dan target swasembada tidak kunjung tercapai," katanya, Jumat (21/10/2022).
Pemerintah sendiri tengah menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) percepatan swasembada gula konsumsi 2025 dan gula rafinasi 2030. Namun, menurut Khudori, Perpres tersebut hanya fokus pada impor gula alih-alih berisi tentang langkah teknis dan tahapan per tahapan untuk mencapai target swasembada.
Ia menyebutkan dalam Perpres tersebut, PTPN hanya ditugaskan untuk menambah area perkebunan dan membentuk anak usaha dengan investor.
"Kondisinya 11 pabrik gula rafinasi di Indonesia itu semuanya milik swasta, tidak ada yang BUMN, di perpres itu tidak ada melibatkan mereka (swasta). Lalu mau nambah produksi gula rafinasi, dari mana lahan kebunnya, karena 11 pabrik gula rafinasi itu adanya di dekat pelabuhan, panen gulanya di pelabuhan yang artinya sejak awal di bangun, pabrik-pabrik ini memang untuk panen gula impor," ungkapnya.
Menurut Khudori, permasalahan utama gula nasional adalah lahan yang terbatas. Bahkan saling berebut dengan tanaman pokok lainnya seperti padi (beras), jagung, dan kedelai.
"Lahan tebu kita terbatas dan sebagian besar merupakan lahan persawahan, jadi kalau menanam tebu tidak menguntungkan, maka sama petani ditanam padi atau jagung atau kedelai, lahannya jadi satu. Sementara petani sejak 2016 dipatok keuntungan mereka dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) dari 2016 dan baru naik lagi sebesar Rp 12.500 per kilogram. Bertahun-tahun tidak pernah naik, sementara kebutuhan pokok, upah dan BBM naik terus," imbuhnya.
Khudori pun pesimis pembentukan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) atau SugarCo dapat mencapai target swasembada. SugarCo dibentuk pada 17 Agustus 2021 yang merupakan anak usaha Holding Perkebunan Nusantara, gabungan dari tujuh anak perusahaan pengelolaan perkebunan tebu yakni PTPN II, PTPN VII, PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII serta PTPN XIV.
Ia berpendapat, SugarCo hanya sekadar konsolidasi perusahaan gula BUMN yang mana sebagian besar pabrik gulanya tua dengan teknologi yang ketinggalan zaman serta tidak efisien. Apalagi, SugarCo juga tidak memasukkan PT Rajawali Nusantara (RNI) yang mengelola beberapa pabrik gula di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Takyat Indonesia (Aptri) Soemitro Samadikun menilai pembentukan SugarCo juga akan menimbulkan masalah baru terutama bagi para petani. Menurutnya, para petani sama sekali tidak diajak bicara soal pembentukan SugarCo.
Sumitro juga mengkhawatirkan pencanangan swasembada gula di 2025 justru akan membuka lebar keran impor gula. Apalagi, lanjutnya, tugas percepatan swasembada gula diserahkan ke PTPN III lewat skema penunjukan langsung.
Menurut dia, hal itu tidak masuk akal lantaran kapasitas produksi perusahaan plat merah tersebut belum cukup memadai untuk menyerap seluruh tebu petani. Soemitro menilai program swasembada gula tidak pernah tercapai karena pemerintah tidak pernah serius menjalankan program tersebut.