Jumat 21 Oct 2022 14:18 WIB

Soal Penarikan Mie Sedaap, Ini Kata Kemenperin 

Indonesia merupakan negara kedua pengkonsumsi mi instan terbesar di dunia.

Rep: Iit Septyaningsih / Red: Agus Yulianto
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan (ILMATE) Kementerian Perindustrian - Putu Juli Ardika.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan (ILMATE) Kementerian Perindustrian - Putu Juli Ardika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan, setiap produk makanan dan minuman yang dihasilkan oleh industri di dalam negeri sudah mengikuti standar pangan yang berlaku di Indonesia. Lalu produk yang telah menembus pasar ekspor pun sudah mengikuti atau sesuai standar negara tujuan ekspor tersebut.

“Tentunya perusahaan dalam melakukan ekspor makanan ke luar negeri harus mengetahui regulasi yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor tersebut. Sekaligus harus memenuhi standar mutu dan keamanan pangan yang dipersyaratkan,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika di Jakarta, Jumat (21/10).

Data dari World Instan Noodles Association (WINA), pada 2021 Indonesia merupakan negara kedua pengkonsumsi mi instan terbesar di dunia dengan konsumsi sebanyak 13,27 miliar bungkus, atau 11,2 persen dari konsumsi mi instan dunia yang sebesar 118,18 miliar bungkus. Kemudian produksi mi instan dalam negeri pada 2021 mencapai 1,2 juta ton dengan volume ekspor sebesar 153 ribu ton atau senilai 246 juta dolar AS.

Menanggapi sejumlah produk mi instan dari Wings Group Indonesia yang ditarik dari pasar Hong Kong, Taiwan dan Singapura, Putu menyebutkan berbagai langkah mitigasi yang dilakukan. Di antaranya dengan memperkuat Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed (INRASFF) working group dari para pemangku kepentingan terkait.

Perwakilan stakeholders itu misalnya dari BPOM sebangai National Contact Point, Kemenperin, Kementerian Perdagagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Keuangan. “INRASFF merupakan sistem komunikasi yang cepat untuk menindaklanjuti notifikasi terhadap permasalahan produk ekspor maupun impor,” ujar dia.

Berikutnya, lanjut Putu, perlu dikembangkan metode pengujian residu Etilen Oksida pada produk pangan. Saat ini di Indonesia, pengujian residu tersebut baru bisa dilakukan oleh laboratorium BPOM.

Direktur Wings Group Indonesia Ricky Tjahjono menyampaikan, perusahaan telah memastikan, pada proses produksi Mi Sedaap tidak menggunakan Etilen Oksida. Produksi Mi Sedaap juga sesuai dengan ketentuan keamanan pangan yang berlaku, di antaranya izin edar dari BPOM dan sistem manajemen keamanan pangan ISO 22000 sehingga aman dikonsumsi.

“Produk Mi Sedaap telah diekspor ke lebih dari 30 negara. Wings Group Indonesia saat ini sudah melakukan investigasi terhadap seluruh lini produksi maupun pemasaran Mi Sedaap,” tutur Ricky.

Ia menambahkan, perusahaan juga telah menarik kembali seluruh varian produk Mie Sedaap yang masuk ke Hong Kong, Taiwan dan Singapura. Selanjutnya, Wings Group Indonesia telah mengirim sampel mi instan ke PT Saraswanti Indo Genetech yang kemudian menyubkontrakkan ke laboratorium di Vietnam untuk pengujian Etilen Oksida pada awal Oktober 2022.

“Selain itu, perusahaan telah mengganti penggunaan cabe bubuk yang pada proses fumigasinya tidak menggunakan Etilen Oksida. Melainkan menggunakan Teknologi Steam Sterilization dari China dan India, sejak awal September 2022,” jelasnya.

Sementara, Prof Purwiyatno Hariyadi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengemukakan, regulasi tentang Etilen Oksida di berbagai negara di dunia penerapannya beragam, terdapat negara yang melarang penggunaannya. Hanya saja ada juga yang masih memperbolehkan penggunaannya.

“Indonesia termasuk negara yang melarang penggunaan Etilen Oksida untuk pestisida/zat aktif pestisida dan bahan pangan (fumigasi). Meski begitu masih menggunakannya untuk sterilisasi alat-alat kesehatan,” tutur dia.

Dengan adanya regulasi yang beragam tersebut, maka batas maksimum residu (BMR) pada pangan juga berbeda-beda di masing-masing negara. Salah satu wilayah yang menerapkan regulasi BMR paling ketat yaitu Uni Eropa. 

Terdapat pula berapa negara belum menetapkan BMR, sehingga BMR yang ditetapkan masing-masing negara berbeda, yaitu ada yang menetapkan 0.01 ppm atau bahkan ada yang mempersyaratkan tidak terdeksi. "Saat ini organisasi internasional di bawah WHO/FAO, yaitu Codex Alimentarius Commission belum mengatur batas maksimal residu Etilen Oksida,” kata Purwiyatno. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement