REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Hari ini, Sabtu (22/10/2022) kalangan santri se-Indonesia memperingati Hari Santri yang ke-7. Pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri dengan merujuk pada peristiwa resolusi jihad tanggal 22 Oktober 1945, yakni pada saat itu KH Hasyim Asy’ari menggerakkan kekuatan santri, pemuda, dan masyarakat untuk melawan penjajahan bangsa Eropa.
Atas dasar itu, Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI) memandang, hakikat peringatan Hari Santri adalah pewarisan semangat pembebasan dan emansipasi kepada generasi muda santri Indonesia.
”Jika KH Hasyim Asyari dulu menggelorakan jihad untuk melawan penjajah, maka santri di masa kini dapat mengambil peran sebagai benteng rakyat dalam menghadapi ketidakadilan sosial,” ujar Sekjen SKI Raharja Waluya Jati, Sabtu (22/10/2022) dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Jati, keterlibatan para santri dalam mengadvokasi berbagai kasus ketidakadilan seperti penggusuran lahan pertanian atas nama pembangunan, yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan, merupakan indikasi bahwa pewarisan semangat pembebasan dan emansipasi dari peristiwa resolusi jihad 1945 itu berjalan dengan baik.
”Kalangan pesantren memiliki sumbangsih yang besar dalam pembentukan dan pembangunan bangsa Indonesia. Di luar kontribusi yang masif di bidang pendidikan, kaum santri melakukan berbagai prakarsa guna menjawab persoalan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masyarakat,” lanjutnya.
Di tengah perekonomian yang merosot serta munculnya ancaman krisis pangan dan resesi dunia, SKI berharap agar kaum santri dapat penjadi penggalang solidaritas yang tangguh.
Kunci sukses sebuah bangsa dalam menghadapi ancaman krisis, kata Jati, adalah persatuan masyarakat yang kokoh.
”Narasi-narasi pembelahan yang dibawakan buzer politik dapat menggerogoti sendi-sendi persatuan bangsa. Hal tersebut perlu direspons kaum santri dengan narasi-narasi yang menekankan kolaborasi untuk menghadapi krisis,” kata Jati.