REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian besar kondisi khusus menempatkan seseorang pada risiko Covid-19 dan komplikasi yang lebih besar. Tapi para ahli dari National Institutes of Health (NIH) menemukan bahwa satu kondisi khusus, secara mengejutkan, tampaknya memberikan perlindungan terhadap virus.
Penelitian yang baru-baru ini diterbitkan sebagai studi Human Epidemiology and Response to SARS-CoV-2 (HEROS), telah mengeksplorasi hubungan antara kondisi khusus tertentu dengan risiko tertular Covid-19. Kondisi khusus yang dimaksud adalah para peneliti mengamati obesitas dan BMI tinggi, asma, alergi makanan, dan bentuk alergi lainnya, termasuk eksim dan rinitis alergi.
Untuk mengeksplorasi hubungan antara kondisi khusus itu dan risiko Covid, tim memantau sekitar 1.400 keluarga yang mencakup setidaknya satu individu berusia 21 tahun ke bawah antara Mei 2020 dan Februari 2021. Secara keseluruhan, keluarga itu terdiri lebih dari 4.000 orang yang setuju untuk melakukan tes usap hidung setiap dua pekan dan mengisi survei kesehatan setiap pekan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami gejala Covid, tim peneliti melakukan tes usap hidung tambahan.
Studi yang didanai oleh NIH ini mengkonfirmasi penelitian sebelumnya, yang menyimpulkan bahwa memiliki obesitas atau BMI tinggi meningkatkan risiko Covid seseorang. Asma, eksim, dan rinitis alergi tidak berpengaruh terhadap kerentanan seseorang.
Namun, para peneliti membuat satu penemuan mengejutkan bahwa individu yang memiliki alergi makanan yang didiagnosis oleh dokter, memiliki risiko Covid yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi umum. Padahal faktanya, individu dengan jenis alergi ini disebut-sebut mengembangkan Covid setengah lebih sering daripada mereka yang tidak memiliki alergi makanan.
"Karena semua kondisi ini dilaporkan sendiri, tim studi HEROS menganalisis tingkat antibodi spesifik imunoglobulin E (IgE), yang memainkan peran kunci dalam penyakit alergi, dalam darah yang dikumpulkan dari sebagian peserta," tulis NIH, dilansir dari People, Senin (24/10/2022).
Korespondensi antara alergi makanan yang dilaporkan sendiri dan pengukuran IgE spesifik alergen makanan, mendukung keakuratan alergi makanan yang dilaporkan sendiri di antara peserta HEROS. Para peneliti berhipotesis bahwa mereka dengan alergi makanan memiliki tingkat peradangan tipe 2 yang lebih tinggi, yang dapat mengurangi tingkat reseptor ACE2, protein yang ditemukan di permukaan sel saluran napas.
Karena SARS-CoV-2 menggunakan reseptor ACE2 untuk memasuki sel, itu memiliki lebih sedikit reseptor tersebut yang dapat membatasi peluang masuknya virus. Tim juga berspekulasi bahwa memiliki alergi makanan dapat mengubah faktor risiko perilaku tertentu, karena orang dengan alergi mungkin lebih kecil kemungkinannya untuk makan di restoran di mana penularannya bisa tinggi.
Namun, tim peneliti menyelidiki beberapa teori perilaku ini dan menentukan bahwa keluarga yang termasuk individu dengan alergi makanan hanya memiliki tingkat paparan komunitas yang sedikit lebih rendah daripada yang lain. Karena penelitian ini berfokus secara eksklusif pada keluarga yang memiliki anggota di bawah usia 21 tahun, para peneliti juga membuat beberapa pengamatan penting tentang bagaimana virus mempengaruhi orang-orang dari berbagai kelompok usia.
Sementara anak-anak, remaja, dan orang dewasa semuanya memiliki peluang sekitar 14 persen untuk mengembangkan Covid-19 selama masa penelitian, mereka menunjukkan perbedaan dalam gejala mereka.
“Infeksi tidak menunjukkan gejala pada 75 persen anak-anak, 59 persen remaja, dan 38 persen orang dewasa. Dalam 58 persen keluarga yang berpartisipasi di mana satu orang terinfeksi, SARS-CoV-2 ditularkan ke beberapa anggota keluarga,” tulis NIH lagi.
Menurut Direktur National Institute of Allergy, and Infectious Diseases (NIAID), Anthony Fauci, temuan penelitian itu menggarisbawahi pentingnya memvaksinasi anak-anak dan menerapkan langkah-langkah kesehatan masyarakat lainnya untuk mencegah mereka terinfeksi SARS-CoV-2. Sehingga vaksin itu melindungi anak-anak dan anggota keluarga mereka yang rentan dari virus.