REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia optimistis dapat mencapai target investasi tahun ini yang sebesar Rp 1.200 triliun. Meski kondisi ekonomi global tengah diliputi kegelapan.
Ia menyebutkan, realisasi investasi sampai kuartal III 2022 telah mencapai Rp 892,4 triliun. Tersisa satu kuartal lagi untuk mewujudkan target investasi di atas.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Mohammad Faisal menilai, kondisi global yang seperti sekarang memang membuat target investasi lebih susah diwujudkan. Walau demikian dirinya yakin pemerintah bisa mencapai target investasi Rp 1.200 triliun.
"Kalau lihat satu kuartal lagi bisa. Dalam artinya, butuh Rp 300-an triliun lagi (untuk capai target investasi) masih memungkinkan, walau lebih berat karena kondisi di kuartal empat lebih tidak sekondusif di kuatal-kuartal sebelumnya," jelas Faisal kepada Republika, Senin (24/10/2022).
Selain fokus pada pencapaian target, menurutnya pemerintah juga harus memperhatikan kualitas dari investasi yang masuk. Baik dari sisi penciptaan lapangan pekerjaan maupun sejauh mana bisa melibatkan pelaku usaha di dalam negeri sampai ke Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
"Jadi sekali lagi, pencapaian target satu hal. Hanya hanya kualitas dari investasi merupakan hal lain yang harus jadi perhatian," tuturnya.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira pun mengatakan, situasi sebagian investor memang ada yang mulai melakukan realisasi investasi menunggu pandemi reda. Hal itu menjdi positif, karena realisasi yang sebelumnya tertunda, sekarang mulai dieksekusi.
Ada pula yang manfaatkan momentum kenaikan harga atau booming komoditas. Maka investasi yang naik banyak di sektor pertambangan dan perkebunan berorientasi ekspor sepanjang semester I 2022.
Hanya saja fokus investor saat ini yaitu ancaman resesi global yang akan membuat biaya investasi meningkat. Baik dari sisi biaya pinjaman, maupun biaya bahan baku.
"Dari negara asal investasi, kondisi China memegang peranan penting. China sedang hadapi zero covid policy dan krisis properti sehingga bisa mempengaruhi minat investasi di negara lain," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (24/10/2022).
Dirinya melanjutkan, investasi yang sensitif terhadap inflasi misalnya sektor otomotif, ritel, dan properti. Beberapa sektor itu mungkin akan wait and see atau merombak dulu rencananya.
"Jadi untuk capai target investasi nampaknya masih belum bisa dengan situasi makro beberapa bulan mendatang. Kalau pun bisa tercapai Rp 1.000 triliun sebenarnya sudah cukup bagus karena investasi punya kontribusi 30 persen terhadap PDB," tegas Bhima.
Ia menambahkan, angka Rp 1.000 triliun itu yang terpenting investasi ke sektor padat karya. Jadi bukan sekadar padat modal atau hanya temporer mengikuti bonanza komoditas.