REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Survei dan Poling Indonesia (SPIN) merilis hasil survei terbaru mereka terkait kinerja Jokowi-Maruf dan peluang calon presiden selanjutnya. Dalam survei tersebut dipaparkan mayoritas responden yang disurvei menghendaki capres selanjutnya bisa melanjutkan kinerja dan capaian yang telah diperbuat oleh Presiden Jokowi.
Direktur SPIN, Igor Dirgantara mengungkapkan saat ini publik menilai kesinambungan pembangunan lebih diperlukan dibanding membuat program-program baru. "Survei ini menunjukkan bahwa 40,5 persen akan memilih capres yang melanjutkan program pembangunan pemerintahan Jokowi saat ini," kata Igor dalam keterangannya, Senin (24/10/2022).
Menurutnya, hanya ada 16,5 persen responden yang memilih capres selanjutnya untuk membuat program baru. Sementara 28,1 persen memilih bersikap moderat membuat program baru dan melanjutkan program yang telah sedang dilaksanakan saat ini.
Terdapat juga sebagian besar responden dari publik 45,8 persen mengaku tidak tahu/tidak jawab. Menurut Igor, publik yang tidak tahu dan tidak menjawab terdiri dari mereka yang juga menjawab capres berikut membuat program baru, dan juga melanjutkan sekaligus membuat program baru.
"Dari publik yang memilih melanjutkan program pemerintahan Jokowi, 16,2 persen meyakini Prabowo akan melanjutkan kinerja Jokowi. Kemudian disusul oleh Ganjar dengan 13,1 persen publik yang yakin, kemudian Puan dengan 8,6 persen. Sementara untuk Anies dan AHY hanya memeroleh masing-masing keyakinan publik sebesar 2,9 persen dan 1,5 persen saja," jelasnya.
Menurut Igor persentase tersebut dinilai wajar, karena Prabowo merupakan menteri dalam kabinet Presiden Jokowi. Sedangkan survei kinerja pemerintah, lanjut dia, secara umum publik menilai kinerja pemerintahan Jokowi-Maruf 2022 masih memuaskan (positif).
"Hasil survei menunjukkan besarannya 58,9 persen, yang terdiri dari 2,1 persen sangat puas dan 56,8 persen puas (atas kinerja pemerintah). Nilai sentimen positif ini menurun dibanding periode survei Agustus 2022 yang lalu," kata Igor.
Penurunan sentimen positif ini, disinyalir, terjadi seiring kebijakan publik pemerintah di bidang ekonomi dan hukum. Di bidang ekonomi karena kebijakan menaikkan harga BBM dan Gas yang memicu kenaikan harga-harga bahan pokok dan bidang hukum terkait diskriminasi hukum.