REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam Islam, poligami memang dibolehkan dengan syarat-syarat yang tak boleh diabaikan. Dalam kehidupan berpoligami pun, terdapat hukum-hukum yang diatur, salah satunya adalah tentang memberikan nafkah lahir dan batin dari suami kepada istri-istrinya.
Dalam kitab Fath al-Muin, karya Syekh Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malibari dijelaskan, jika suami menginap di tempat salah seorang istrinya maka wajib bagi dia untuk mengadakan gilir istri di antara para istrinya yang lain. Agar adil, caranya bisa dilakukan dengan mengundi gilirian atau melalui kesepakatan yang disetujui bersama.
Maka demikian, suami wajib mengadakan gilir istri bagi segenap istri yang ada. Sekalipun dia tengah uzur sebagaimana sakit maupun haid (jika haid, hanya boleh istimta' atau bersenang-senang).
Disunnahkan memberikan kesamaan di antara para istri dalam segala macam bentuk istimta'.
Dan suami tidak ditindak lantaran kecenderungan hatinya kepada di antara para istri. Selain itu, disunnahkan juga jangan sampai menganggurkan para istri, yaitu hendaknya menginap bersama mereka sesuai jadwal giliran yang telah disepakati bersama.
Gilir istri diwajibkan untuk selain istri yang tengah dalam iddah guna menjaga persetubuhan yang sifatnya syubhat. Sebab diharamkan berduaan dengan istri yang tengah masa iddah.
Selain itu tidak diwajibkan juga melakukan gilir terhadap istri yang masih kecil yang tidak kuat atau belum mampu melakukan hubungan intim.
Bagi istri yang nusyuz yang membangkang, juga tidak diwajibkan bagi suami untuk melakukan gilir. Terakhir golongan yang tidak diwajibkan untuk gilir bagi suami adalah istri yang tengah berpergian sendiri untuk keperluannya sendiri walaupun atas izin suami.
Dijelaskan pula dalam kitab ini bahwa dalam kehidupan poligami, diwajibkan bagi suami-istri untuk hidup bersama dengan sebagus-bagusnya.
Yakni dengan cara masing-masing pihak menjaga agar jangan sampai membuat pihak lain tidak suka dan memberikan haknya dengan suka rela tanpa membuat pengeluaran biaya dan kesulitan untuk semua.