REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH -- Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sangat prihatin dengan eskalasi kekerasan di Myanmar. Mereka menyerukan kepada junta untuk menahan diri dan segera menghentikan pertempuran.
Myanmar telah terjebak dalam siklus kekerasan sejak tentara menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021. Junta Myanmar menahan Suu Kyi dan ribuan aktivis. Mereka juga meluncurkan tindakan keras yang telah menimbulkan gerakan perlawanan bersenjata.
Beberapa minggu terakhir telah terjadi beberapa insiden paling berdarah, yang menewaskan puluhan orang. Sejumlah konflik tersebut antara lain pemboman penjara terbesar di Myanmar, konflik di Negara Bagian Karen dan serangan udara di Negara Bagian Kachin pada Ahad (23/10/2022) yang telah menewaskan sedikitnya 50 orang. Kamboja sebagai ketua ASEAN mengatakan, konflik itu tidak hanya memperburuk situasi kemanusiaan tetapi juga merusak upaya untuk menerapkan konsensus perdamaian yang disepakati antara ASEAN dan junta tahun lalu.
"Kami sangat sedih dengan meningkatnya korban, dan penderitaan besar yang dialami orang-orang biasa di Myanmar. Oleh karena itu, kami sangat mendesak agar kekerasan segera dihentikan," kata pernyataan Kamboja yang menyerukan semua pihak untuk melakukan dialog.
ASEAN memimpin upaya diplomatik untuk membawa perdamaian ke Myanmar. Tetapi junta tidak menerapkan konsensus untuk segera menghentikan kekerasan dan memulai dialog menuju kesepakatan damai.
Para menteri luar negeri ASEAN akan bertemu pada Kamis (27/10/2022) untuk membahas krisis tersebut. Sekelompok 457 organisasi masyarakat sipil Myanmar telah menyerukan dalam sebuah surat terbuka bagi para pemimpin ASEAN untuk membatalkan rencana perdamaian yang disepakati dengan militer. Sebagai gantinya mereka meminta ASEAN bekerja dengan para pemimpin sipil dan pemerintah bayangan Myanmar.