Rabu 26 Oct 2022 18:32 WIB

Pakar: Partai di Indonesia Layaknya Perusahaan Keluarga

Pakar tata negara sebut partai di Indonesia layaknya sebuah perusahaan keluarga.

Rep: Febryan A/ Red: Bilal Ramadhan
Partai politik/ilustrasi. Pakar tata negara sebut partai di Indonesia layaknya sebuah perusahaan keluarga.
Foto: tst
Partai politik/ilustrasi. Pakar tata negara sebut partai di Indonesia layaknya sebuah perusahaan keluarga.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menilai, permasalahan sumber pendanaan partai politik dan transparansi keuangannya berakar dari sistem partai politik itu sendiri. Terutama sistem yang memungkinkan satu sosok atau satu kelompok mengendalikan partai.

"Indonesia ini tidak punya partai politik, yang ada adalah perusahaan keluarga yang diberi nama partai. Makanya Ibu Mega (Ketua Umum PDIP) bisa dibilang CEO, seperti itu juga Pak Prabowo (Ketua Umum Gerindra)," kata Feri dalam diskusi daring bertajuk 'Reformasi Keuangan Partai Politik: Peluang dan Tantangan', Rabu (26/10/2022).

Feri mengatakan, setelah Reformasi 1998, hampir semua sistem bernegara diperbaiki regulasinya. Tetapi tidak dengan sistem partai politik. Karena itu, menurutnya partai masih bergantung pada figur sentral ketua umum ataupun kelompok dominan dalam partai.

Dominannya satu sosok atau kelompok ini, kata Feri, tak terlepas dari sistem pembiayaan partai politik. Partai di Indonesia diketahui boleh menerima dana dari tiga sumber, yakni iuran anggota, donasi, dan bantuan negara.

Tapi, iuran anggota selama ini tidak jalan hampir di semua partai. Jangankan meminta iuran anggota, mengajak masyarakat jadi kader partai saja sulit. Ketiadaan iuran anggota itu lah yang membuat partai bergantung pada pendanaan dari elite partai.

"Karena dana partai cuma sedikit karena tidak ada sumbangan dari kader, (akhirnya pendanaan) lebih banyak berbasis kepemilikan ketua atau figur-figur kaya dari parpol itu," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.

Ketiadaan sumbangan dana dari kader itu, lanjut dia, juga akan mendorong partai mencari pendanaan dari luar. Singkatnya, partai akan mencari donatur untuk beraktivitas.

Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko, ketika partai bergantung pada pendanaan dari luar, maka sang donatur sudah seperti pemegang saham partai.

Para pemegang saham ini tentu akan mendapatkan imbal balik dari kader partai yang berhasil menduduki jabatan publik. Imbal balik itu biasanya dalam bentuk pemberian konsesi pertambangan atau kontrak proyek konstruksi.

Karena itu, ujar Danang, TII mendukung upaya pemerintah menambah dana bantuan kepada partai agar partai tidak lagi milik donatur atau segelintir elite partai, tapi milik publik. Dengan begitu, keputusan-keputusan politik yang dibuat partai akan berpihak kepada publik.

Untuk diketahui, dana bantuan partai politik saat ini adalah Rp 1.000 untuk setiap suara sah dalam pemilu terakhir. Pemerintah berencana menambah besarannya jadi Rp 3.000 per suara mulai tahun 2023.

Menurut Danang, ketika negara membiayai partai sepenuhnya, maka keuangan partai akan lebih transparan. Sebab, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa mengaudit semua pengelolaan keuangannya.

Hanya saja, kata Danang, wacana memperbesar bantuan partai ini justru ditolak oleh partai politik itu sendiri. Pasalnya, para elite partai dan donatur cemas kendalinya atas partai akan hilang karena partai tidak lagi bergantung pada uang mereka.

"Ketika negara hadir memberikan bantuan, itu ternyata juga tidak mudah. Tentu masuknya negara, maka akan menggusur kepemilikan mereka (para elite dan donatur) atas partai politik," kata Danang.

"Ketika negara akan memberikan sumbangan (lebih besar), ternyata tidak mudah juga karena partai justru yang memberikan syarat. Terakhir mereka mensyaratkan sumbangan negara 50 persen saja. Itu kemungkinan refleksi keresahan pemegang saham utama partai ketika ada donor baru masuk, terutama dari negara," imbuhnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement