REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dugaan penggelapan dana santunan Boeing Community Invesment Fund (BCIF) oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) akan segera disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Tim penyidikan di Bareskrim Polri, pada Rabu (26/10) resmi melimpahkan tanggung jawab tiga tersangka kasus tersebut ke tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari ) Jaksel. Tiga tersangka tersebut, yakni Ibnu Khajar (IK), Hariyana Hermain (HH), dan Ahyudin (A), juga Novariyadi Imam Akbari (NIA).
Dengan pelimpahan tahap-2 tersebut, selanjutnya tim JPU akan segera menyusun surat dakwaan untuk empat tersangka itu. Lalu selanjutnya, akan melimpahkan berkas rencana dakwaan tersangka ke pengadilan, untuk persidangan.
“Bahwa pelimpahan tahap dua tersebut tetap melakukan penahanan terhadap tiga tersangka, IK, HH, dan A selama 20 hari, di Rutan Bareskrim Mabes Polri,” ujar Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Ketut Sumedana dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, Rabu (26/10).
Kasus dugaan penggelapan dana BCIF tersebut, terjadi periode 2021-2022. Dikatakan, kasus ini terkait dengan insiden kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 pada 18 Oktober 2018, yang menewaskan 92 penumpang.
Pesawat nahas tersebut buatan Boeing 737 Max-8. Hukum internasional mewajibkan produsen pesawat terbang itu, memberikan kompensasi terhadap para keluarga ahli waris korban. Namun, penyalurannya diwajibkan lewat yayasan internasional yang ditunjuk oleh para ahli waris korban kecelakaan.
Masing-masing keluarga ahli waris mendapatkan dana senilai 114.500 dolar AS, atau setara Rp 2,06 miliar. Sehingga total dana BCIF yang akan disalurkan senilai Rp 138,54 miliar.
Terkait itu, 69 keluarga ahli waris mempercayakan penyaluran dananya melalui ACT. Akan tetapi, ada kesepakatan antara ACT dengan para ahli waris penerima dana BCIF untuk mengalihkan penyaluran melalui pembangunan sarana-prasarana pendidikan dan kesehatan oleh ACT.
“Akan tetapi, dalam pelaksanaannya penyaluran dana BCIF tersebut, para ahli waris tidak diikutsertakan dalam penyusunan rencana, maupun pelaksanaan proyek pembangunan fasilitas pendidikan, dan kesehatan tersebut,” kata Ketut.
Terkait dengan kesepakatan ahli waris penerima dana BCIF dengan ACT tersebut, Ketut mengatakan, tak disampaikan kepada pihak Boeing sebagai pihak penyantun. Bahkan disebutkan dari berkas penyidikan, kata Ketut, tersangka A selaku mantan Presiden ACT, bersama tersangka IK sebagai Presiden ACT, tersangka HH selaku Ketua Pembina ACT, dan tersangka NIA selaku Pembina ACT menggunakan dana senilai Rp 117 miliar untuk kepentingan internal perusahaan.
“Dan diduga pengurus Yayasan ACT melakukan penggelapan dana tersebut dengan menggunakan dana BCIF tersebut untuk kepentingan pribadi, pembayaran gaji pegawai, dan pemberian fasilitas pribadi, serta operasional, juga kegiatan yayasan tanpa sepengetahuan pihak Boeing, dan ahli waris,” kata Ketut.
Atas penggunaan dana tersebut, ACT dituding melakukan penggelapan. Para tersangka dijerat dengan sangkaan Pasal 372 KUH Pidana, dan atasu Pasal 374 KUH Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.