Jumat 28 Oct 2022 03:45 WIB

Tingkat Kematian Rendah, Pakar Ingatkan Indonesia tak Remehkan Covid-19 Varian XBB

XBB dapat menerobos antibodi yang terbangun dari vaksin maupun infeksi Covid-19.

Virus Covid-19 (ilustrasi). Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Universitas Griffith University Australia Dicky Budiman mengingatkan seluruh pihak di Indonesia untuk tidak meremehkan Covid-19 varian XBB akibat tren kematian yang terlapor rendah.
Foto: www.wikimedia.org
Virus Covid-19 (ilustrasi). Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Universitas Griffith University Australia Dicky Budiman mengingatkan seluruh pihak di Indonesia untuk tidak meremehkan Covid-19 varian XBB akibat tren kematian yang terlapor rendah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Universitas Griffith University Australia Dicky Budiman mengingatkan seluruh pihak di Indonesia untuk tidak meremehkan Covid-19 varian XBB akibat tren kematian yang terlapor rendah.

"Logikanya seperti ini, stabil ke rendah terus tiba-tiba meningkat, ini berarti kasusnya ada banyak yang terjadi di komunitas. Jadi, ini sebetulnya tanda bahwa yang sangat jelas memang sub varian XBB ini sudah berdampak," kata Dicky, Kamis (27/10/2022).

Baca Juga

Dicky menuturkan XBB dapat menerobos antibodi masyarakat yang terbangun dari vaksin maupun infeksi Covid-19 itu sendiri. Terlepas dari hal itu, karakteristik untuk menularkannya juga jauh lebih cepat meskipun tingkat fatalitasnya tidak lebih berbahaya dibandingkan varian sebelumnya.

Hanya saja, Dicky mengimbau agar angka kematian yang sampai hari ini masih berkisar 20 kasus per hari, tidak menjadikan semua orang menganggap XBB sebagai varian yang remeh. Menurut Dicky, rendahnya angka kematian itu merupakan akibat dari buruknya sistem registrasi kematian di Indonesia yang secara umum, banyak laporan kematian tidak teridentifikasi atau teregistrasi dengan baik.

Oleh karenanya, ia menyarankan pemerintah untuk meniru negara maju seperti Singapura yang tidak mengadakan pemakaman seseorang, sebelum diketahui pasti penyebab dari kematiannya agar memiliki riwayat yang jelas. Hal itu juga dapat membantu memastikan kebenaran dari jumlah pasien yang wafat akibat Covid-19.

"Jadi, sebab suatu kematian penduduk itu tidak dicari betul atau punya standar yang memadai, untuk memastikan penyebab pastinya, sehingga wajar di kita kalau sudah ada yang wafat ya sudah dikubur saja," ujarnya.

Dicky juga menyayangkan ketidaksiapan pemerintah dalam merealisasikan program yang dibangun untuk melindungi masyarakat. Salah satunya adalah program perluasan cakupan booster, karena terjadinya kelangkaan yang menempatkan masyarakat seperti kelompok rentan menjadi rawan.

Minimnya cakupan booster menempatkan Indonesia dalam situasi risiko proporsional (proportional risk), yakni situasi membuat orang yang paling rawan tidak terlindungi dan berpotensi besar menjadi korban dari suatu kematian.

Kemudian, dengan kasus positif yang mulai kembali mengalami tren kenaikan sampai 3.000 per hari, jumlah itu bukan merupakan total kasus yang sebenarnya terjadi di dalam masyarakat. Mengingat berbagai kebijakan pelonggaran mulai membuat masyarakat kembali abai terhadap protokol kesehatannya.

"Sub varian XBB ini sudah berdampak walaupun sekali lagi, kita agak buta karena tidak didukung dengan data dari surveilans genomic yang memadai. Kita juga melihat faktor pendukungnya di dalam masyarakat ini jelas ada pengabaian," katanya.

Dicky mengatakan sistem pelacakan masih menjadi tugas besar pemerintah, sebab keterbatasan surveilans dan sistem pelaporan kasus menyebabkan banyak orang yang masuk dalam kategori miskin terkendala mengakses layanan tersebut.

"Makanya, kalau bicara angka kematian mau akibat gangguan ginjal yang saat ini sedang ramai maupun Covid-19, itu jelas fenomenanya puncak gunung es yang tidak terdeteksi," ujarnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement