REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Israel dan Lebanon resmi meratifikasi perjanjian batas maritim yang dimediasi Amerika Serikat (AS), Kamis (27/10/2022). Kedua negara menyatakan kepuasan atas kesepakatan tersebut.
Presiden Lebanon Michel Aoun menandatangani surat persetujuan kesepakatan di Baada, diikuti dengan penandatanganan Perdana Menteri Yair Lapid di Yerusalem. Upacara serah terima dari kedua delegasi akan digelar di pangkalan penjaga perdamaian PBB di Naqoura di sepanjang perbatasan.
Yair Lapid memuji kesepakatan batas maritim dengan Lebanon sebagai pencapaian luar biasa. “Tidak setiap hari negara musuh mengakui negara Israel, dalam perjanjian tertulis, dalam pandangan masyarakat internasional,” ucapnya.
Sementara itu, negosiator Lebanon Elias Bou Saab mengatakan, era baru dimulai dengan diratifikasinya perjanjian batas maritim dengan Israel. “Kita telah mendengar tentang Abraham Accords (perjanjian normalisasi diplomatik Israel dengan beberapa negara Arab). Hari ini ada era baru. Itu bisa jadi kesepakatan Amos Hochstein,” ujar Saab.
Amos Hochstein adalah utusan AS yang menengahi kesepakatan antara Israel dan Lebanon. Mengingat Israel hendak menggelar pemilu pada 1 November dan masa jabatan Michel Aoun sebagai presiden Lebanon akan berakhir pada 31 Oktober, Hochstein mengatakan, siapa pun yang terpilih menjadi pemimpin baru, perjanjian batas maritim harus dipertahankan.
Meski menyatakan puas atas kesepakatan yang diperantarai AS, Michel Aoun sebelumnya telah menyatakan bahwa Lebanon tidak akan melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel. Kebijakan luar negeri Lebanon akan dipertahankan. Artinya Lebanon tetap dalam keadaan berperang dengan Israel.
Israel dan Lebanon terakhir kali terlibat dalam konflik terbuka pada 2006. Kedua negara secara resmi tetap berperang, dengan penjaga perdamaian PBB berpatroli di perbatasan darat. Pada 2020, Israel dan Lebanon melanjutkan negosiasi terkait sengketa perbatasan maritim. Pembicaraan sempat terhenti, tapi dihidupkan kembali pada Juni tahun itu.
Diskusi awal berfokus pada area yang disengketakan seluas 860 kilometer persegi (332 mil persegi), sesuai dengan klaim Lebanon yang terdaftar di PBB pada tahun 2011. Beirut kemudian meminta daerah itu diperluas lagi seluas 1.430 kilometer persegi, yang mencakup bagian dari ladang gas Karish. Menurut Israel, Karish berada dalam zona ekonomi eksklusifnya yang diakui oleh PBB. Kelompok Hizbullah Lebanon sempat mengancam akan menyerang Israel jika negara tersebut melakukan eksplorasi gas di Karish.