REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga kajian demokrasi, Public Virtue Research Institute (PVRI) bersama Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) mendesak negara terutama pemerintah untuk membuka kembali kasus pembunuhan terhadap aktivis Munir Said Thalib. Kasus ini merupakan kasus emblematik bagi permasalahan HAM di Indonesia.
Istri Almarhum Munir, Suciwati mengatakan, negara tetap harus mengungkap fakta dan kebenaran atas kematian aktivis HAM Munir. Ia juga meminta Komnas HAM harus segera menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat.
“Munir adalah sosok yang selalu memikirkan orang lain dan mencintai kemanusiaan. Energi dan keberaniannya itu didapatkan dari rasionalisasi dan keyakinannya bahwa kerja-kerja kemanusiaan sangat mungkin memiliki risiko. Tetapi risiko dari kehidupan, bagi siapapun tetaplah sama yaitu kematian.” ujar Suciwati dalam peluncuran buku tentang Munir, di Jakarta, Kamis (27/10/2022).
Buku itu berjudul “We Have Tired of Violence: A True Story of Murder, Memory, and the Fight for Justice in Indonesia” karya Matt Easton. Acara peluncuran buku ini digelar secara hibrid, yang dihadiri para tokoh dan pejuang HAM, seperti Haris Azhar, Komisioner Kompolnas Poengky Indarti, peneliti dan jurnalis lepas Made Supriatma, hingga akademisi Universitas Indonesia Nur Iman Subono dan Penasehat Kapolri Hermawan Sulistyo.
Hadir juga sebagai penanggap Marzuki Darusman yang mantan Jaksa Agung Republik Indonesia, 1999-2001. Suciwati, termasuk Eks Sekretaris TPF Munir Usman Hamid, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir Arif Maulana dan Direktur Eksekutif PVRI, Miya Irawati. Acara hibrid ini juga dihadiri oleh ratusan peserta dari kalangan lain.
“Seharusnya, bukti yang ada dan opini para ahli lebih dari cukup untuk Komnas HAM menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat,” tambah Suciwati.
Senada dengan Suciwati, Marzuki Darusman juga menyampaikan, pembunuhan terhadap Munir layak untuk didefinisikan sebagai pelanggaran HAM berat. Dan semua yang terkait sampai saat ini belum terungkap, karena itu, menurut dia, harus dianggap belum terselesaikan.
"Diperlukan pengakuan nasional bahwa kasus Munir merupakan utang negara untuk menyelesaikan. Bukan dimasukkan dalam penyelesaian non-yudisial," ujar Marzuki.
Pada kesempatan yang sama, Usman Hamid menilai kasus ini bisa dibuka kembali dengan dua syarat. Pertama, yaitu kemauan politik Presiden dan tim investigasi beranggotakan polisi-polisi baik dan berani.
“Persidangan saat itu diwarnai intimidasi kepada saksi maupun polisi yang bertugas. Itu membuat saksi kunci menarik kesaksiannya sehingga lemah dalam meyakinkan hakim untuk menghukum pelaku,” katanya.
Arif menambahkan, negara juga lalai karena melakukan pembiaran tidak tuntasnya kasus tersebut dan menunda proses pengungkapan. “Itulah sebabnya kami mendesak Komnas HAM membentuk tim ad hoc penyelidikan projustitia,” ujarnya.
Pada akhir diskusi, Miya berharap buku yang berisi informasi yang detil dan cukup lengkap ini dapat mengingatkan pemerintah dan juga masyarakat agar tidak melupakan pentingnya pengungkapan Kebenaran dan penegakkan keadilan dalam kasus pembunuhan Munir.
Selain itu, Miya juga berharap agar perjuangan Munir terus mewariskan semangat, kreatifitas, nilai-nilai, etika dan strategi yang efektif dalam bekerja mengungkapkan kasus-kasus HAM. “Dengan begitu, maka Munir terus hidup dan menjadi energi dalam memperjuangkan demokrasi dan HAM di Indonesia,” terang Miya.
Sebagai penulis, Matt Easton juga dikenal peneliti hak asasi manusia, editor, dan penulis yang tinggal di Brooklyn, New York. Dalam buku tersebut, Matt menyebutkan beberapa nama yang terindikasi sebagai dalang intelektual pembunuhan Munir dan pihak-pihak yang dianggap mengetahui aksi pembunuhan tersebut.