REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bulan ini ada ribut-ribut Halte Transjakarta Bundaran HI yang dituduh menghalangi pandangan ke lokasi Patung Selamat Datang. Berita-berita pun muncul dengan menyebut sky deck untuk menyebut anjungan yang ada di lantai dua halte itu. Lalu, air mancur di lokasi itu kemudian disebut dalam bahasa asing: Henk Ngantung Fontein.
"Permoelialah bahasa sendiri, soepaja bangsamoe moelia djoega. Hilangkanlah bahasamoe, kalau kamoe maoe bangsamoe selamanja djadi hina kepada bangsa lain,” tulis NR Moeda di koran Hindia Baroe, 3 Maret 1926. NR Moeda merupakan orang terakhir yang menyumbangkan dukungannya terhadap upaya penerbitan bahasa Indonesia selama muncul polemik di koran Hindia Baroe itu sejak dimunculkannya nama bahasa Indonesia, Januari 1926.
Mendengar pernyataan ini kini, kita bisa segera nyinyir: Apa benar jika bahasa Indonesia hilang bangsa kita menjadi hina? Bukan justru sebaliknya, karena kita berbahasa Indonesia kita menjadi hina di dalam pergaulan internasional? Lalu kita menyalahkan para pendahulu kita yang memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, yang membuat kita kalah dari Malaysia yang berbahasa Inggris.
Maka, perlakuan kita terhadap bahasa Indonesia terus menurun, karena menggunakan bahasa Indonesia kita anggap tidak mencerminkan pergaulan internasional. Terlebih, bahasa Indonesia tergagap-gagap menghadapi terpaan bertubi-tubi kosakata baru bahasa asing (Inggris).
Maka, penggunaan bahasa Inggris dalam keseharian kita, alasannya bukan saja karena agar dianggap memiliki kelas pergaulan internasional, melainkan juga karena kita tidak tahu padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Di sepanjang jalan Merauke-Boven Digoel yang melintasi hutan dan kebun sawit, ada beberapa tempat istirahat dengan papan petunjuk yang dibuat warga, tertulis: “Rest Area”.
Baca juga : Komnas: Banyak Kasus Kekerasan Perempuan yang tak Ditangani
Di tengah hutan Papua –pelintasnya adalah para sopir truk sawit atau truk tangki BBM-- yang disediakan ternyata papan petunjuk berbahasa Innggris, semata karena istilah itu telah populer dan ketidaktahuan mereka terhadap padanannya dalam bahasa Indonesia. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No 10/PRT/M 2018 tentang Tempat Istirahat dan Pelayanan di Jalan Tol, rest area disebut tempat istirahat dan pelayanan. Terlalu panjang.
Dulu, bahasa Indonesia terdesak oleh bahasa Belanda, sekarang oleh bahasa Inggris. Pernyataan Sukarjo Wiryopranoto pada Kongres Bahasa Indonesia Pertama 1938 yang dicatat di buku biografinya, masih relevan. Di kongres itu, ia menyampaikan makalah “Penggunaan Bahasa Indonesia di dalam Volksraad”. Ia mengatakan, “Dari adanya pertemuan kebudayaan antara Timur dan Barat, pertemuan mana menimbulkan mixed culture, maka di beberapa tempat dan saat bahasa Indonesia terdesak oleh bahasa Belanda. Ini desakan yang lama-kelamaan menjadi common fact (keadaan biasa) dan akhirnya bisa membelakangkan bahasa Indonesia….”
Mari kita lihat kawasan bisnis di Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman. Gedung-gedung berarsitektur modern memenuhi dua kawasan itu. Semata memperhatikan gedung-gedung yang berdempet-dempetan dan menjulang tinggi itu, terasa seperti sedang tidak di Indonesia. Dulu, masih ada halte bus yang berdesain ornamen Betawi. Sekarang, ada gambar kepala ondel-ondel di sebuah tiang kecil di pelataran dekat Grha BNI yang tidak mencuri perhatian.
Gedung-gedung banyak menggunakan bahasa Inggris dan dipenuhi reklame nama-nama toko atau jenama produk internasional. Penawaran sewa ruangan di gedung-gedung menjulang itu ditulis: “Space Available”. Di kampus pun (kampus dekat Semanggi), ada papan berlogo sebuah bank swasta, bertuliskan: “Digital Lounge”.
Untungnya, di Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman itu banyak berkibar bendera merah putih, sehingga kita tersadar masih di Indonesia ketika melintas di kawasan itu. Jika kita perhatikan lebih seksama di antara rindangnya pepohonan, kita bisa menemukan ciri Indonesia yang ada di gedung-gedung lama. Ada Menara BCA, Menara Mandiri, Menara Sudirman, Menara Taspen, Grha BNI, Wisma Nusantara, Wisma Nugra Santana, Hotel Indonesia Kempinski, Plaza Indonesia, Plaza Asia, Plaza Marein, dan lain-lain. Mereka bersaing dengan Chase Plaza, fX Plaza, Grand Indonesia, Sudirman Plaza, Thamrin Nine Ballroom, UOB Plaza, CHUBB Square, Thamrin Gate, Thamrin Lobby, Thamrin Police Station, Indofood Tower, Marriott Executive Apartment, Indonesia Stock Exchange, dan lain-lain. Beberapa papan petunjuk di pemberhentian bus di Jalan Thamrin tertulis: “City Tour”.
Baca juga : Baca Doa Ini Agar Selalu Diberi Petunjuk oleh Allah SWT
Di pagar Grand Indonesia, tertulis “Grand Indonesia Shopping Center”. Di pagar fX Plaza tertulis “Welcome Home”. Mereka menyaingi “Jakarta Kota Kolaborasi” yang dipasang belakangan di bawah jalan layang non-tol di Karet Sudirman. Papan petunjuk di Gelora Senayan menjadi teman “Jakarta Kota Kolaborasi”. Nama pintu masuk menggunakan bahasa Indonesia dalam ukuran besar: Pintu 6 (yang ada di sisi Jalan Sudirman, dekat Halte Transjakarta Senayan).
"Welcome Home", kata penyambut di fX Plaza. (priyantono oemar/republika)
Mari berkaca pada pengumuman di dunia penerbangan Indonesia. Pada saat-saat tertentu awak kabin pesawat mengumumkan sesuatu kepada penumpang. Yang didahulukan selalu pengumuman dalam bahasa Indonesia, baru kemudian pengumuman dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa tulis untuk penggunaan bahasa di area publik diatur: ditulis dulu dalam bahasa Indonesia, lalu bahasa asingnya ditulis disamping atau di bawahnya dalam ukuran yang lebih kecil.
Mengapa pengaturan ini ada? Pasal 3 UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, menyebut pengaturan itu bertujuan untuk: a. memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan c. menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.
Negara memandang bahasa negara sebagai lambang kedaulatan bangsa dan negara. “Hendak mempertinggi deradjat bangsa Indonesia, pertinggilah deradjat bahasa Indonesia. Jang mana bahasa Indonesia? Tidak seorang dari bangsa Indonesia akan menjalahkan, kalau bahasa Melajoe akan didjadikan bahasa Indonesia. Karena bahasa inilah jang paling lakoe di Indonesia,” kata NR Moeda di Hindia Baroe, 3 Maret 1926.
M Tabrani selaku pencetus nama bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, mengatakan dengan tegas di buku yang ia tulis pada 1929, Ons Wapen (Senjata Kita), “Bangsa tanpa bahasa adalah bangkai kapal, tidak memiliki landasan yang kokoh.”
Beberapa pengaturan dalam UU No 24 Tahun 2009 dapat disebutkan di sini:
Pasal 36
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia.
(2) Nama geografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) nama resmi.
(3) Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
(4) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.
Pasal 37
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan bahasa daerah atau bahasa asing sesuai dengan keperluan.
Pasal 38
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum.
(2) Penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai bahasa daerah dan/atau bahasa asing.
Mengapa para pendiri bangsa ini menetapkan bahasa persatuannya bernama bahasa Indonesia? Wacana penerbitan bahasa Indonesia sudah muncul sejak Januari 1926 hingga Maret 1926 di Hindia Baroe. Koran ini semula dipimpin Hadji Agus Salim, kemudian sejak awal 1926 diganti oleh M Tabrani.
Muh Yamin yang di Kongres Pemuda Indonesia Pertama menyebut bahasa Indonesia tidak ada, pada Oktober 1926 sudah berubah 180 derajat. Ia menyetujui pendapat M Tabrani dan serta-merta mengubah penjelasannya tentang sejarah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia ia sebut sudah ada ratusan tahun sebelumnya. Bahasa yang digunakan di masa Sriwijaya pun ia sebut sudah merupakan bahasa Indonesia.
Tabrani memunculkan nama bahasa Indonesia di tulisannya pada 16 Januari 1926. Belum ada penjelasan tentang nama itu. Baru pada 6 Februari 1926 ia mulai sedikit menjelaskan yang ia maksud sebagai bahasa Indonesia, yaitu bahasa Melayu-gampang. Mendapat dukungan dari pembaca pada 8 Fabruari 1916, pada 11 Februari 1926 bahasa Indonesia ia jelaskan panjang lebar.
Muncul polemik. Ada yang tak setuju menciptakan bahasa Indonesia sebelum kemerdekaan. Tapi, bagi Tabrani, bahasa Indonesia justru akan memperkuat perjuangan kemerdekaan. Nama Indonesia memiliki makna politik memerdekakan diri, lepas dari Belanda. Ini jauh berbeda denan Melayu, yang tak memiliki makna politik bagi bangsa Indonesia, sehingga Yamin pun mengubur keinginannya menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, menggantinya dengan bahasa Indonesia, sesuai dengan usulan Tabrani.
Ketika ada yang menyebut bahasa Indonesia yang ia teritkan adalah bahasa Melayu, Tabrani menampiknya di Hindia Baroe, 3 Maret 1926: Bahasa Indonesia boekanlah bahasa Melayu. Bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia. Bahwa dalam bahasa Indonesia itoe dipakai banjak perkataan Melajoe itoelah tjuma toeval sadja. Bahasa Indonesia mesti timboel. Karena kedatangan bangsa Indonesia itoe haroes bersama-sama dengan kedatangan bahasa Indonesia. Akan tetapi meskipoen soedah begitoe wadjiblah kita bekerdja dengan pelan-pelan.
Saat itu, bahasa Melayu memang telah lama menjadi bahasa pengantar di Nusantara, meski tak banyak penggunanya. Muncullah bahasa Melayu-pijin/Melayu-pasar/Melayu-rendah/Melayu-gampang. Orang dari berbagai daerah berbahasa Melayu, dipenuhi banyak kosa kata dari bahasa ibu mereka, kendati bahasa Melayu juga telah banyak diserap oleh bahasa ibu mereka.
J Crawfurd pernah mengambil 1.000 kata dari bahasa Madura, Lampung, Bali, Bugis, Kayan, dan Kisa. Hasil penelitiannya itu dibukukan pada 1848 dan dikutip Slamet Muljana pada 1975. Dari 1.000 kata Madura, terdapat 675 kata Melayu. Dari 1.000 kata Lampung, terdapat 455 kata Melayu. Dari 1.000 kata Bali terdapat 470 kata Bali. Dari 1.000 kata Bugis, terdapat 326 kata Melayu. Dari 1.000 kata Kayan, terdapat 114 kata Melayu. Dari 1.000 kata Kisa, terdapat 56 kata Melayu.
Bahasa Indonesia mendapat kesempatan berkembang di masa pendudukan Jepang. Kata Sutan Takdir Alisjahbana seperti dikutip George McTurnan Kahin di buku Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia mengatakan, orang Jepang masuk ke desa-desa yang terpencil di Nusantara memakai bahaa Indonesia untuk menggalang kekuatan seluruh penduduk.
“Demikianlah maka bahasa itu berkembang dan bagi kebanyakan penduduk mengilhami suatu perasaan baru. Makin mereka belajar memakai bahasa Indonesia dengan bebas, mereka makin menyadari adanya suatu ikatan umum. Bahasa Indonesia menjadi suatu lambang kesatuan kebangsaan yang berlawanan dengan usaha-usaha Jepang itu, sepenuhnya menyuburkan bahasa dan kebudayaan mereka sendiri. Oleh karena itu, menjelang Jepang menyerah, posisi bahasa Indonesia sudah sangat lebih baik, baik dalam kekuatannya maupun martabatnya tidak hanya jika dibandingkan dengan bahasa Belanda, tetapi juga dengan berbagai bahasa daerah di kepulauan itu yang tidak punya kesempatan berkembang selama masa pendudukan Jepang,” tulis Takdir seperti dikutip Kahin.
Jangan sampai bahasa Indonesia tak punya kesempatan lagi untuk berkembang karena penggunaan bahasa asing yang semakin menjadi-jadi. Bahasa Indonesia memang belum semujur nasib bendera atau lambang negara yang lain. Jika ada yang tidak menghormati Sang Saka Merah Putih, polisi langsung bertindak melakukan penegakan. Bahasa Indonesia? Kementerian yang ikut menyusun UU No 24 Tahun 2009 pun bahkan lalai mengutamakan bahasa Indonesia, ketika memasang tulisan besar di salah satu gedungnya: "Corporate University".