UAD Percepat Penambahan Jumlah Guru Besar
Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
Para staf pengajar di UAD. | Foto: Dokumen
REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Berbagai upaya percepatan dilakukan civitas Universitas Ahmad Dahlan (UAD) untuk memperbanyak jumlah guru besar. Penambahan guru besar dinilai sangat perlu dilakukan untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM).
Pasalnya, SDM menjadi tulang punggung dalam proses tata kelola perguruan tinggi dalam mencetak lulusan. "Kalau kita bicara pengembangan SDM, situasi itu masih memprihatinkan, sehingga kita adakan percepatan," kata Rektor UAD, Muchlas, kepada Republika.co.id saat ditemui di Kampus 1 UAD, Kota Yogyakarta, Kamis (27/10).
Dikatakan, syarat menjadi guru besar yakni memiliki kualifikasi doktor (S3) dan mempublikasikan karya ilmiah ke jurnal internasional bereputasi. Dengan begitu, dosen-dosen didorong untuk mendapatkan gelar doktor dan mempublikasikan karya ilmiahnya.
Dalam memenuhi persyaratan tersebut, pihaknya mendorong dosen-dosen memperoleh pendanaan atau beasiswa dari luar. Tidak hanya itu, dukungan dana dari internal UAD diberikan.
"Kita dorong yang muda-muda untuk memperoleh pendanaan dari luar karena mereka memenuhi syarat dari keilmuan dan memiliki effort yang tinggi. Sementara yang tidak memperoleh pendanaan dari luar, kita upayakan dari UAD dalam upaya memperbanyak dokter," kata Muchlas.
Setidaknya, disiapkan dana hingga Rp 2,5 miliar per tahunnya untuk percepatan guru besar ini. Dana tersebut utamanya untuk membantu penelitian dan publikasi karya ilmiah ke jurnal internasional bereputasi.
"Kalau diperlukan biaya untuk riset, kita biayai, dan biaya submit, biaya penerbitan juga kita biayai. Sekarang pada umumnya publikasi ke jurnal internasional bereputasi kan juga berbayar, rata-rata per orang itu sampai Rp 50 sampai Rp 70 juta (pendanaan yang diberikan)," lanjutnya.
Dalam program percepatan guru besar, pihaknya juga melakukan pemetaan tiap tahunnya. Pemetaan ini dilakukan untuk mendata dosen-dosen yang memiliki potensi menjadi guru besar.
Dari pemetaan tersebut, dilakukan inkubasi selama satu tahun. Di 2022 ini ada 30 dosen yang mengikuti masa inkubasi ini, dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan menjadi guru besar.
"Inkubasi di sana kemudian kita berikan pendanaan. Proses inkubasi agar mereka dapat memenuhi persyaratan khusus atau wajib yakni publikasi di jurnal internasional bereputasi," ujar Muchlas.
Selama proses inkubasi, dilakukan pendampingan kepada dosen, termasuk monitoring dan evaluasi. Dari seluruh dosen yang mengikuti inkubasi ini per tahun, diharapkan setidaknya 30 persen di antaranya dapat menjadi guru besar.
"Tahun ini 30 dosen (mengikuti inkubasi), tahun depan bisa ditambah lagi. Diharapkan jumlah guru besar kita juga bertambah tiap tahunnya," jelasnya.
Dari program percepatan guru besar yang sudah dilakukan, Muchlas menilai dampaknya sangat signifikan. Pasalnya, pihaknya bisa mencetak hingga 10 guru besar dengan adanya program tersebut.
Jika dibandingkan dengan sebelum dijalankannya program percepatan guru besar ini, jumlah guru besar yang tercetak per tahunnya bahkan tidak sampai lima orang.
"Hasilnya menggembirakan, setahun ini saja dari 30 yang diinkubasi, yang sudah turun (diberikan SK) itu dua (guru besar), sudah disidang di senat universitas ada empat dosen, submit ke negara itu dua dosen dan tinggal menunggu," tambahnya.
Saat ini, jumlah dosen di UAD mencapai lebih dari 760 orang. Dari jumlah tersebut, guru besar baru mencapai sekitar 30 orang.
Tuntutan akreditasi
Melalui program percepatan guru besar, ditargetkan setidaknya 50 dosen dapat menjadi guru besar. Hal ini, katanya, mengingat tuntutan akreditasi perguruan tinggi juga mengharuskan guru besar harus mencapai 50 persen dari total dosen yang ada.
Untuk itu, ke depannya jumlah guru besar akan terus diperbanyak. Dengan harapan tidak hanya meningkatkan kualitas SDM, namun juga mendukung berbagai peningkatan dan pengembangan bagi UAD, masyarakat luas, hingga negara dari berbagai sisi.
Mulai dari mendukung proses pembelajaran dan pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang profesional, Islami, dan berbudi pekerti baik. Selain itu, juga dapat mendukung universitas sebagai pusat inovasi.
Ia lantas menilai pusat inovasi itu diperlukan negara dalam meningkatkan perekonomian. Ekonomi negara bisa naik jika mampu mandiri, kemandirian tercipta apabila mendayagunakan inovasi-inovasi perguruan tinggi.
“Dan inovasi bisa dicapai dan kita didukung oleh SDM yang kuat, profesornya banyak, kemudian doktor melimpah, maka itu akan tercapai. Ke depan seperti itu keinginan kita," kata Muchlas.
Percepatan guru besar ini juga akan bermuara pada percepatan naik levelnya program studi (prodi) di UAD. Jika jumlah guru besar semakin banyak, maka akan semakin mudah bagi prodi-prodi untuk mengajukan program pascasarjana (S2) maupun program doktor (S3).
"Setelah mereka jadi guru besar, ya harus diabdikan pada level yang lebih tinggi. Karena yang ideal itu, setiap bidang ilmu atau prodi memiliki jenjang S2 sampai S3, dan kita akan dorong ke sana," katanya.
Dengan begitu, pihaknya juga akan memperbanyak pembentukan program S2 dan S3 kedepannya. Saat ini, UAD baru memiliki satu program S3 yakni di bidang ilmu farmasi.
Sementara, total prodi yang ada mencapai 55 prodi. Sedangkan, untuk program S2 sudah mencapai 13 prodi. Muchlas menyebut, pihaknya tentu menargetkan sebanyak-banyaknya prodi yang mengajukan program S2 dan S3. Meski begitu, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengajuan program S2 dan S3 ini.
"Pendirian S2 dan S3 itu ada syarat pemenuhan SDM, jadi kita sulit menargetkan karena setiap prodi itu memiliki situasi yang tidak sama. S2 itu syaratnya harus ada lima doktor, S3 minimal punya dua guru besar dan tiga lainnya lektor kepala, ini harus dipenuhi dulu," ujar Muchlas.