REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) Iwan Ariawan mengatakan, perlunya Penyelidikan Epidemiologi (PE) yang tuntas terkait penyebab gangguan ginjal akut pada anak (GGAPA). Karena, masih sangat mungkin adanya penyebab lain selain cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
"Penyelidikan epidemiologi terus kami lakukan, karena cemaran EG/DEG sehingga terjadinya oksalat tidak bisa jadi satu penyebab, perlu kajian juga, belum tentu jadi penyebab tunggal," ujarnya dalam diskusi daring Jumat (28/10/2022).
Ia menjelaskan PE yang dilakukannya bersama Kementerian Kesehatan adalah dengan melakukan penelitian kasus kontrol GGPA di RSCM UI. Metode yang dilakukan adalah membandingkan paparan cemaran EG dan DEG pada pasien yang terkena GGA dan pasien yang tidak terkena GGA.
"Jadi dalam model penelitian anak-anak yang gagal ginjal akut sebagai kasus dibandingkan pasien lain yang tidak gagal ginjal akut, nanti dilihat paparannya pada cemaran EG/DEG akan dihitung berapa persen sih punya riwayat EG/DEG. Kemudian pada kasus yang sudah sembuh juga akan dilihat. Dilihat juga apa ada interaksi dengan zat lain," jelasnya.
Diharapkan, dalam waktu satu bulan PE sudah selesai dan ditemukan jawaban pasti penyebab GGPA. "Semoga satu bulan terjawab, karena perlu dilakukan sampai tuntas dibandingkan melalui kontrol agar diketahui penyebab pastinya," terangnya.
Hadir dalam kesempatan yang sama, Epidemiolog FKM-UI, Pandu Riono meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI), memperketat pengawasan terhadap obat dan makanan agar tidak lagi terulang kasus gangguan ginjal akut pada anak (GGPA). Ia menekankan, obat yang beredar di masyarkat haruslah aman.
"Obat yang beredar harus aman, jadi memang mau tidak mau standar pengawsan yang ada sekarang harus diperkuat, kalau industri farmasi disuruh periksa sendiri apakah ada kandungan cemaran EG dan DEG maka hasilnya harus dilaporkan. Sebagai institusi BPOM juga harus lakukan pemeriksaan dari sampling dan dipastikan secara menyeluruh bebas senyawa toksik. Memang banyak yang harus disempurnakan dari kasus ini, sebenarnya sangat sedih ini, kenapa bisa terjadi," kata Pandu.
Pandu juga menduga kenaikan harga bahan baku pelarut obat berkaitan dengan penggunaan bahan berkualitas rendah oleh produsen obat sirop. Maka langkah efektif bagi masyarakat dalam mencegah gangguan ginjal akut, jangan dulu konsumsi obat sirop sebelum ada sistem pengawasan obat yang dapat diandalkan.
Sementara Kepala BPOM RI, Penny Lukito menduga ada produsen obat sirup yang sengaja penggunaan bahan baku tambahan yang tidak sesuai dengan standar. Kondisi ini dicurigai jadi penyebab gangguan ginjal akut pada ratusan anak di Indonesia. Berdasarkan hasil pengujian EG dan DEG pada ratusan obat sirup yang teregister di BPOM, ditemukan konsentrasi EG dan DEG yang sangat tinggi pada sampel bahan baku yang digunakan dalam produk tertentu.
"Sehingga dugaan sementara terdapat penggunaan bahan baku tambahan yang tidak sesuai dengan standar pada pembuatan obat sirup," kata Penny.
Karena itu, BPOM melakukan upaya penindakan terhadap produsen produk yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS), dengan memberdayakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM yang telah berkoordinasi dengan Bareskrim Polri untuk melakukan penindakan terhadap dua industri farmasi. Ia menegaskan, sistem keamanan mutu dan obat bukan hanya menjadi tanggung jawab BPOM, tetapi juga industri farmasi melalui CPOB (cara produksi obat yang baik).
"Sistem jaminan mutu dan khasiat obat dan makanan dalam hal ini terkait dengan obat dari segala pihak bukan hanya BPOM dan ada juga industri farmasi (terkait) CPOB," ujar Penny.
Menurutnya, CPOB menjadi penentu bahwa obat tersebut layak diproduksi. Apabila ada efek yg sangat besar merugikan konsumen atau unsur kesengajaan dalam pengawasan maka sangat mungkin untuk dibawa ke ranah hukum.
“Industri yang punya kewajiban kontrol kualitas dari bahan masuk sampai produksinya. Kalau mereka tidak melakukan, ya mereka harus bertanggung jawab,” ujarnya.
Tercatat, ada 269 kasus gagal ginjal akut pada anak di Indonesia per 26 Oktober 2022 yang tersebar di 27 provinsi. Pemerintah menduga akibat adanya cemaran senyawa kimia pada obat tertentu yang saat ini sebagian sudah teridentifikasi.
Kementerian Kesehatan bergerak cepat disamping melakukan surveilans atau penyelidikan epidemiologi, terus melakukan penelitian untuk mencari sebab sebab terjadinya GGA. Diantaranya sudah menyingkirkan kasus yang disebabkan infeksi, dehidrasi berat, oleh perdarahan berat termasuk keracunan makanan minuman.
Dan dengan upaya itu Kemenkes bersama IDAI dan profesi terkait telah menjurus kepada salah satu penyebab yaitu adanya keracunan atau intoksikasi obat.