Jumat 28 Oct 2022 21:42 WIB

Tren Streaming Global Dinilai Masih akan Berkembang

Tren streaming kini dinilai sudah memasuki fase baru.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Tren streaming kini dinilai sudah memasuki fase baru.
Foto: Pixabay
Tren streaming kini dinilai sudah memasuki fase baru.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masa depan streaming global dinilai telah memasuki fase baru. Menurut laporan institut riset MoffettNathanson, penetrasi streaming di Amerika Serikat telah mencapai titik jenuh.

Ketika platform hendak mencari pelanggan baru, mereka harus menyasar ke luar AS. Ada dua pengecualian untuk kondisi tersebut, yakni Peacock dan Paramount+. Meski begitu, tren streaming global dinilai masih berkembang.

Baca Juga

Ampere Analysis yang berbasis di London dalam laporannya memaparkan bahwa Netflix merencanakan 130 tayangan internasional dan 62 fitur baru antara April dan September 2022. Selama periode yang sama, Amazon menghadirkan 92 acara baru dan 23 fitur, sementara Disney+ menyuguhkan 45 tayangan dan empat film layar lebar.

"Tren keseluruhan yang kami lihat adalah untuk platform global yang memanfaatkan keunggulan produksi dan pasar internasional non-Amerika Serikat. Ini adalah tren yang akan tetap ada dan berkembang pesat dan kuat," kata direktur eksekutif Ampere Analysis, Guy Bisson.

Bukti kuat dari tren itu adalah popularitas serial drama Korea Selatan "Squid Game" yang menjadi hit global di Netflix, bahkan bakal hadir musim keduanya. Ada pula "Money Heist: Korea-Joint Economic Area", versi Asia dari serial orisinalnya yang berbahasa Spanyol.

Tayangan dengan popularitas serupa di platform streaming lain adalah serial mata-mata Inggris, "Slow Horses", yang baru-baru ini diperbarui oleh Apple TV+. Ada juga serial fiksi ilmiah besutan Russo bersaudara, "Citadel", yang akan tayang di Amazon. Serial mengeksplorasi cerita dengan latar empat lokasi, India, Italia, Spanyol, dan Meksiko.

Ada benturan kondisi yang dianggap membuat platform tidak lagi mampu membuka jalan untuk pertumbuhan audiens. Itu adalah biaya produksi tayangan yang lebih tinggi akibat pandemi Covid-19, kenaikan suku bunga, tekanan internal, dari penurunan harga saham.

Kasus paling jelas terlihat di Warner Bros Discovery, yang mengelola HBO Max dan Discovery+. Perusahaan memangkas pengeluaran dan memutuskan untuk melepaskan berbagai program dengan alasan penghematan biaya.

CEO Warner Bros Discovery, David Zaslav, berusaha menghemat hingga sekitar tiga miliar dolar AS (Rp 46,5 triliun). Pengetatan ikat pinggang itu menghantam operasi internasional HBO Max, khususnya saat mengumumkan akan menyetop produksi tayangan orisinal di seluruh Nordik, Belanda, Eropa Tengah, dan Turki.

Rubicon yang didukung oleh Banijay Group memproduksi dua musim drama Norwegia, "Beforeigners", untuk HBO Max. CEO Rubicon, Ivar Kohn mengetahui bahwa acara itu "dibuang" oleh streamer dan akan dilisensikan kembali di tempat lain, hanya beberapa jam sebelum Warner Bros Discovery mengumumkan berita pemangkasan produksi di Eropa dan sekitarnya.

"Para streamer tidak berhenti mencari proyek internasional bergengsi dengan anggaran besar, tetapi proyek dengan anggaran menengah menghilang. Tampaknya fokusnya bukan lagi tentang pertumbuhan, tetapi lebih tentang mencoba mempertahankan pelanggan yang mereka miliki dan mencoba dan mendapatkan lebih banyak," ujar Kohn.

Kesadaran biaya yang baru juga tercermin dalam perpindahan beberapa streamer global ke program hiburan ringan tanpa naskah. Untuk menjaga biaya tetap rendah, streamer memproduksi sejumlah tayangan di lokasi yang sama. Meningkatnya persaingan di pasar internasional juga memaksa platform untuk menjadi lebih selektif tentang target lokasi pasar utama masing-masing, dikutip dari laman Hollywood Reporter, Jumat (28/10/2022).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement