Ahad 30 Oct 2022 13:57 WIB

Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi Bukan Agenda Pariwisata Biasa

Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi, Jatim, dinilai bukan agenda pariwisata biasa.

Penari Gandrung berlatih menari kolosal di Pantai Marina Boom, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (28/10/2022). Latihan tari yang diikuti 1.000 penari Gandrung itu sebagai persiapan Festival Gandrung Sewu yang akan digelar pada Sabtu, 29 Oktober 2022 di Pantai Boom Banyuwangi.
Foto: ANTARA/Budi Candra Setya
Penari Gandrung berlatih menari kolosal di Pantai Marina Boom, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (28/10/2022). Latihan tari yang diikuti 1.000 penari Gandrung itu sebagai persiapan Festival Gandrung Sewu yang akan digelar pada Sabtu, 29 Oktober 2022 di Pantai Boom Banyuwangi.

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUWANGI -- Pada Sabtu, 29 Oktober 2022, saat jarum jam masih menunjukkan pukul 12.00 WIB, suasana kawasan wisata Pantai Boom di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, sudah terlihat ramai pengunjung.

Akses jalan menuju salah satu kawasan wisata di kabupaten paling ujung timur Pulau Jawa itu juga tersendat. Para pengunjung itu tidak hanya datang dari Banyuwangi dan daerah sekitar, tapi juga luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan dan Sulawesi. Tampak juga sejumlah wisatawan mancanegara.

Baca Juga

Hari itu, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi punya hajat besar, yakni Festival Gandrung Sewu 2022: Banyuwangi Rebound. Agenda pariwisata ini telah digelar sejak tahun 2012 dan sempat terhenti selama dua tahun pada 2020 dan 2021 karena ada pandemi Covid-19.

Tahun 2021 sebenarnya festival ini sudah kembali digelar, tetapi secara hybrid (offline dan online) terbatas karena situasi belum memungkinkan. Melibatkan ratusan penari yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan juga mancanegara. Mereka adalah warga Banyuwangi yang sedang merantau (diaspora).

Kini, setelah dua tahun tak ada gelaran, Pemkab Banyuwangi kembali menggelar Festival Gandrung Sewu 2022 secara langsung di Pantai Boomdengan melibatkan 1.284 penari anak-anak hingga dewasa, termasuk seniman pengisi drama kolosal.

Tidak salah kalau kemudian banyak warga Banyuwangi dan wisatawan luar daerah yang sangat antusias ingin menyaksikan festival tahunan ini. Mereka bahkan rela datang tiga jam sebelum pertunjukan dimulai demi mendapatkan tempat terdepan.

Masyarakat yang tidak bisa datang langsung ke Banyuwangi tetap dapat menyaksikan Festival Gandrung Sewu melalui siaran langsung secara streaming yang disiapkan panitia.

Tema yang diangkat pada festival kali ini adalah "Sumunare Tlatah Blambangan" atau "Kemilau Bumi Blambangan". Tema ini menceritakan sebuah kisah Banyuwangi semasa masih menjadi kawasan Kerajaan Blambangan. Kala itu, kerajaan dilanda wabah atau pageblug yang tidak bisa dibendung.

Banyak rakyat Blambangan yang terjangkit wabah itu hingga meninggal dunia. Pagi kena wabah, sore mati. Malam terserang wabah, pagi meninggal.

Akibatnya, seluruh aspek kehidupan ikut terusik hingga memasuki kalangan Istana Blambangan, termasuk Putri Dewi Sekardadu pun ikut terkena wabah itu. Segala upaya telah dilakukan pihak kerajaan, namun tidak membuahkan hasil.

Akhirnya berkat usaha keras, pihak Istana Blambangan berhasil menemui pertapa muda bernama Syech Maulana Malik Ibrahim atau Syech Wali Lanang untuk meminta pertolongan.

Penyebar agama Islam itu bermunajat kepada Allah SWT dan atas izin-NYA berhasil melenyapkan pageblug dari Bumi Blambangan, termasuk menyembuhkan Putri Dewi Sekardadu. Seluruh rakyat Blambangan bergembira dan sebagai hadiahnya, sang raja menikahkan putrinya itu dengan Syech Maulana Malik Ibrahim.

Cerita dalam drama kolosal itu seperti menggambarkan situasi yang terjadi di Indonesia dan juga belahan dunia selama dua tahun terakhir saat dilanda pandemi Covid-19. Ribuan warga Indonesia menjadi korban dari keganasan virus yang pertama kali ditemukan di Cina itu.

Hampir seluruh sendi kehidupan terdampak. Warga tidak lagi bisa berinteraksi secara bebas, perekonomian terganggu dan banyak sektor usaha tutup. Rasa was-was dari ancaman virus mematikan itu setiap saat dirasakan masyarakat.

Drama kolosal "Kemilau Bumi Blambangan" itu ditampilkan secara apik di pelataran pasir Pantai Boom selama sekitar satu jam. Puluhan ribu penonton yang menyaksikan festival dibuat kagum dan terpesona dengan gerakan dinamis para penari gandrung yang beratribut khas warna merah serta iringan musik rancak gamelan Osing yang memadukan budaya Jawa dan Bali.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement