REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Khairul Jasmi
Indonesia sedang diculik oleh dunia digital. Lantas jutaaan orang yang diculik itu terlibat dalam pesta besar kemewahan: melepaskan apa yang terlarang.
Dalam masa penculikkan itu, Indonesia rusak dan tiris. Bejananya bocor. Semua mengaku bisa memperbaiki tapi tak seorang pun yang melakukannya.
Sebagian yang tak berhasil diculik bekerja dalam diam, tapi mereka di-bully. Ada yang patah semangat karena lidahnya tergigit. Semua pekerjaan selesai, sebelum dimulai. Mereka orang-orang miskin yang membunuh hasratnya, membunuh air matanya sendiri.
Sementara itu pesta dunia digital terus berlangsung, memporak-porandakan pikiran. Menyumpal dengan sampah informasi.
Hati dan kalbu kian menjauh dari tubuh Indonesia yang sedang menikmati kemewahan digital itu dengan biaya rata-rata Rp100 ribu per orang per bulan. Semua ini menjauhkan Indonesia dari hal-hal serius dan membawa ke wilayah instant. Masak malam, mentah lagi kala pagi.
Percakapan di salah satu wilayah digital itu, medsos, banyak yang kurang ajar, jauh dari adab pergaulan. Pintu-pintu adab seperti ditutup. Percakapan tak sopan itu sudah bertimbun-timbun. Menggunung lantas menjadi hal biasa.
Lama sekali di dunia nyata seseorang tak berani menyebut orang lain dungu, kini sudah. Di dunia digital, sudah lama biasa kata kasar dari itu berhamburan.
Indonesia yang kena culik itu, oleh rakyatnya, oleh sebagian elite dan pemimpinnya, berkecamuk di dadanya yang tabah. Di langit ada saksi, matanya menatap ke sekujur tubuh Indonesia dengan sedih.
Cinta yang selama ini menjadi irama langkah anak negeri, berubah jadi drum band kelompok pencuri. Mencuri pisang, nanas, beras, jengkol, duren, sawah, rimba, sandal jepit, uang, masa depan dan selera bangsa.
Rakyat Indonesia yang bekerja dengan tangan sendiri itu, berharap, mesti ada cara untuk bisa lepas dari penculikan digital itu. Jika tidak, maka yang tak punya bekal literasi akan semakin lama hilang dan berjalan jauh, entah ke mana.
Ada sedikit orang yang sedang mengibarkan bendera yang diambil dari peti peradaban Indonesia lama, tapi mereka hampir-hampir tak didengar dan sebentar lagi mereka akan dilecehkan oleh urusan politik.
Rakyat Indonesia membunuh air matanya sendiri, untuk masa depan yang mereka impikan di tengah kebencian pada sejarah kontemporer yang mereka buat sendiri. Juga memuja sejarah yang sama.
Ribuan triliun yang sudah habis untuk main internet dalan satu dekade belakangan. Tapi, jendela rusak tak hendak diperbaiki. Dalam derap bersama, mereka ingin Indonesia ini baik-baik saja, bahagia dan sejahtera.
Orang yang sama di dunia penculikkan saling membanggakan mereka sudah pegang kunci surga dan terus menyebar kebencian. Para ulama hampir kehabisan mimbar untuk menyebar kebaikan. Sebagian ulama lain, tak merasa diculik sebab sedang jalan seiring dengan dunia politik.
Satu-sama lain sudah tak saling mendengar lagi. Indonesia sebenarnya sedang berat bebannya tapi hampir-hampir tak ada yang memperdulikannya.
Bangsa besar ini makin lama diculik, makin kehilangan anak-anaknya. Sementara itu gerbang adab di dunia kepolisian sudah ambruk satu kakinya. Di dunia birokrasi, muncul gerbang-gerbang baru bernama peluang korupsi. Tongkat sudah rebah, termasuk di Senayan.
Sekarang akar kacang sedang memanjat sigai guna menjemput sinar matahari untuk kehidupannya, itulah generasi muda terdidik, yang sedang atau memburu dunia kerja. Menciptakan kerja sendiri. Mereka sebentar lagi akan jadi penyelamat atau ikut terculik.
Indonesia sedang diculik dunia digital. Di dunia itu, tiap hari ada pesta. Jangan terkejut, jika ada yang lepas dari penculikan, dia akan kita temukan babak belur, berkelukuran. Bahkan, jadi bodoh. Ia baru keluar dari sebuah perayaan yang mewah yang sama sekali tidak ada.