Senin 31 Oct 2022 10:55 WIB

Israel: Ladang Gas Karish akan Bantu Atasi Krisis Energi di Eropa

Produksi gas dari ladang Karish akan membantu Eropa mengatasi krisis energi.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Perdana Menteri Israel Yair Lapid pada Ahad (30/10/2022) mengatakan, produksi gas dari ladang Karish akan membantu Eropa mengatasi krisis energi.
Foto: Ronen Zvulun/Pool via AP
Perdana Menteri Israel Yair Lapid pada Ahad (30/10/2022) mengatakan, produksi gas dari ladang Karish akan membantu Eropa mengatasi krisis energi.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Yair Lapid pada Ahad (30/10/2022) mengatakan, produksi gas dari ladang Karish akan membantu Eropa mengatasi krisis energi. Pernyataan itu dilontarkan Lapid beberapa hari setelah penandatanganan kesepakatan perbatasan laut dengan Lebanon.

"Memproduksi gas dari ladang Karish akan menurunkan biaya energi di Israel dan akan mengubah Israel menjadi pemasok energi regional. (Ladang Karish) ini akan membantu Eropa menangani krisis energi," kata Lapid, dilaporkan Middle East Monitor, Ahad (30/10/2022).

Baca Juga

Lapid mengatakan, demarkasi perbatasan maritim dengan Lebanon dan produksi gas lanjutan dari Karish akan memastikan stabilitas ekonomi Israel. Sebelumnya pada Rabu (26/10/2022), perusahaan Israel, Energean mengumumkan dimulainya produksi di ladang gas Karish.

Pada Kamis (27/10/2022), Israel dan Lebanon menandatangani kesepakatan perbatasan maritim yang dimediasi Amerika Serikat (AS). Dunia internasional dan regional menyerukan agar Israel dan Lebanon menyelesaikan perselisihan tersebut.

Presiden Lebanon Michel Aoun menandatangani surat persetujuan kesepakatan di Baada, diikuti dengan penandatanganan oleh Lapid di Yerusalem. Upacara serah terima dari kedua delegasi digelar di pangkalan penjaga perdamaian PBB di Naqoura di sepanjang perbatasan.

Yair Lapid memuji kesepakatan batas maritim dengan Lebanon sebagai pencapaian luar biasa. “Tidak setiap hari negara musuh mengakui negara Israel, dalam perjanjian tertulis, dalam pandangan masyarakat internasional,” ucapnya.

Sementara itu, negosiator Lebanon Elias Bou Saab mengatakan, era baru dimulai dengan diratifikasinya perjanjian batas maritim dengan Israel. “Kita telah mendengar tentang Abraham Accords (perjanjian normalisasi diplomatik Israel dengan beberapa negara Arab). Hari ini ada era baru. Itu bisa jadi kesepakatan Amos Hochstein,” ujar Saab.

Meski menyatakan puas atas kesepakatan yang diperantarai AS, Michel Aoun sebelumnya telah menyatakan bahwa Lebanon tidak akan melakukan normalisasi diplomatik dengan Israel. Kebijakan luar negeri Lebanon akan dipertahankan. Artinya Lebanon tetap dalam keadaan berperang dengan Israel.

Israel dan Lebanon terakhir kali terlibat dalam konflik terbuka pada 2006. Kedua negara secara resmi tetap berperang, dengan penjaga perdamaian PBB berpatroli di perbatasan darat. Pada 2020, Israel dan Lebanon melanjutkan negosiasi terkait sengketa perbatasan maritim. Pembicaraan sempat terhenti, tapi dihidupkan kembali pada Juni tahun itu.

Diskusi awal berfokus pada area yang disengketakan seluas 860 kilometer persegi (332 mil persegi), sesuai dengan klaim Lebanon yang terdaftar di PBB pada tahun 2011. Beirut kemudian meminta daerah itu diperluas lagi seluas 1.430 kilometer persegi, yang mencakup bagian dari ladang gas Karish. Menurut Israel, Karish berada dalam zona ekonomi eksklusifnya yang diakui oleh PBB. Kelompok Hizbullah Lebanon sempat mengancam akan menyerang Israel jika negara tersebut melakukan eksplorasi gas di Karish.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement