REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Rofiq Muzakkir, Alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta
Tasawuf adalah salah satu diskursus yang paling banyak diperbincangkan dan senantiasa mengundang perdebatan pro dan kontra di tengah pemikir Islam dalam setiap putaran zaman. Pro dan kontra tersebut di samping disebabkan oleh karakter tasawuf yang sangat personal dan subyektif, juga karena tasawuf dianggap telah menggelincirkan umat Islam kepada sikap lembek dan fatalistik yang tidak kompatibel dengan ajaran Islam.
Bandingkan dengan fikih, yang walaupun sering menjadi sumber konflik juga terkadang mampu menjadi instrumen pemersatu dan ciri utama dari peradaban Islam (al-Jabiri, 1990: 97). Selama ini berkembang sebuah kesalahpahaman dalam mempersepsikan sikap seorang mujaddid besar dalam sejarah Islam, Ibnu Taimiyah, terhadap diskursus Tasawuf.
Ignaz Goldziher dan Lois Massignon, dua orang tokoh orientalis terkemuka misalnya, mencitrakan Ibnu Taimiyah sebagai seorang puritan yang paling besar ‘tongkatnya’ dalam menggebuk tasawuf. Kenyataan sesungguhnya tidaklah demikian.
Dalam diri Ibnu Taimiyah sesungguhnya terdapat sebuah sikap kosmopolitan yang berhasil menggabungkan antara apresiasi terhadap dimensi spiritual tasawuf, terutama yang berdiri kokoh di atas doktrin al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbulah, dan sikap oposisi terhadap tasawuf yang memancar dari pemikiran filosofis yang spekulatif dan praktek-praktek yang eksesif.
Jejak Al-Ghazali dalam Pemikiran Tasawuf Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah lahir pada periode kritis yaitu pada tahun 1263 M, lima tahun pascakejatuhan Baghdad sebagai simbol kekhalifahan ke tangan tentara Mongol. Dalam situasi Islam dan umat Islam yang serba terpuruk Ibnu Taimiyah mengumandangkan gerakan pemurnian dan pembaruan Islam. Kondisi yang penuh gesekan dengan ulama pendukung kekuasaan dan yang sejak awal tidak sepaham dengan Madzhab Hanbali, selain dengan penguasa Islam kala itu, menghantarkannya pada nasib buruk hingga dipenjara beberapa kali.
Di penjara itu pula, di kota Damaskus, pada tanggal 20 Dzulqa’dah 728 H, Syeikh Islam sang pembaru dari Harran itu wafat. Kendati nasibnya tragisnya sebagai korban kesewenang-wenangan rezim ulama dan penguasa kala itu, namun namanya harum hingga saat ini sebagai sosok pembaru dan pelopor kebangkitan Islam yang sangat ternama dan cemerlang di dunia Islam (Nashir, 2010: 82-6).
Seperti dinyatakan oleh Fazlur Rahman, gagasan Ibnu Taimiyah di bidang tasawuf adalah penajaman kembali dan sampai batas tertentu juga kritik terhadap proyek sintesa sufisme dan ortodoksi yang telah dilakukan sebelumnya oleh para tokoh sebelum Ibn Taimiyah. Tujuan sufisme ortodoks sendiri adalah untuk ihya atsar as-salaf (reaktualisasi paham salafiyah) dengan mengupayakan tegaknya kembali warisan kesalehan terdahulu (Siregar, 2002: 300).
Puncak dari usaha untuk memperbarui tasawuf pada masa sebelum Ibnu Taimiyah ada pada diri al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) dengan karya monumentalnya Ihya Ulumiddin. Dalam bukunya tersebut al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu yang tertinggi ialah ilmu tasawuf, suatu ilmu yang mendukung orientasi batini keagamaan (Madjid, 2009: 88).