REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Agung pada Mahkamah Agung (MA), Suharto mengungkapkan fenomena restorative justice (RJ) dengan cara menikahkan pelaku dengan korban kejahatan. Ia meragukan efektivitas RJ dengan bentuk seperti itu.
Suharto menyebut modus RJ dengan menikahkan korban dengan pelaku kerap terjadi di kasus kekerasan seksual. Pernikahan dimaksudkan agar pihak korban dan pelaku mencapai perdamaian.
"Sekarang lagi ngetren di MA itu tindak pidana berbau asusila atau kekerasan seksual atau beberapa kasus perlindungan anak, mereka damai pelaku menikahi korban," kata Suharto dalam konferensi nasional keadilan restoratif pada Rabu (2/11/2022).
Namun proses pernikahan itu hanyalah kedok agar pelaku lolos dari jerat hukum. Sehingga pada titik ini terjadi penyalahgunaan konsep RJ yang justru makin merugikan korban. "Setelah dihukum ringan beberapa bulan kemudian menceraikan dan ini sudah mulai ada, sehingga pengawasannya bagaimana," ujar Suharto.
Suharto lantas mempertanyakan upaya pengawasan dalam penerapan RJ. Ia khawatir tanpa pengawasan yang jelas, pelaku malah menyalahgunakan RJ demi kepentingannya sendiri.
"Tatkala damai dengan syarat-syarat tertentu kemudian output dihukum ringan atau dihentikan (perkaranya), kemudian syarat damai tidak terpenuhi siapa yang ngawasin ini," tegas Suharto.
Di sisi lain, Suharto merujuk aturan soal diversi anak sudah terdapat mekanisme pengawasan. Sehingga ia mengajak publik mempertimbangkan konsep pengawasan RJ layaknya diversi anak. Dengan demikian, pelaku yang tak memenuhi syarat RJ dapat dijerat pidana lagi.
"Kalau pinjam diversi anak, ada pengawasannya. Begitu diversi nggak selesai perkara dilanjutkan, begitu diversi tidak dilaksanakan perkara dilanjutkan," ujarnya.
Diketahui, penyalahgunaan RJ berkedok pernikahan terjadi dalam kasus kekerasan seksual yang di Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM). Tercatat pada 2019, terjadi kekerasan seksual di lingkup Kemenkop UKM yang kemudian ditindaklanjuti berkoordinasi dengan aparat penegak hukum.
Kasus itu sempat dihentikan ketika penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). SP3 dikeluarkan setelah pihak keluarga korban dan para pelaku diduga bersepakat menyelesaikan secara kekeluargaan dengan menikahkan salah satu pelaku dengan korban.
Padahal pernikahan itu dinilai sarat dengan tekanan. Korban dan keluarganya sempat didatangi pejabat Kemenkop UKM dan keluarga pelaku ketika kasus ini sudah dalam proses penyidikan. Dalam kesempatan itu, keluarga pelaku memelas dikasihani.
Bahkan keluarga korban dipaksa menikahkan korban dengan salah satu pelaku berinisial ZP yang masih lajang. Pernikahan itu akhirnya berlangsung pada 12 Maret 2020 menggunakan izin menikah karena pelaku saat itu mendekam di balik jeruji besi. Usai pernikahan, ZP tak berlaku layaknya suami dari korban.