REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani Heryawan menilai pemerintah terlambat dalam mengantisipasi kasus gangguan gagal ginjal akut yang menimpa anak-anak Indonesia. Padahal, terdapat informasi bahwa kasus tersebut sudah terdengar sejak Januari 2022.
Jangan sampai pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menganggap remeh kasus tersebut. Ia tak ingin meninggalnya satu nyawa dianggap biasa oleh negara.
"Jadi saya khawatir Ibu dan Bapak ini menganggap remeh kasus atau gangguan kesehatan yang menimpa rakyat kita. Jangan sampai kematian itu dianggap biasa, kematian itu takdir, sungguh ini sebuah bencana kemanusiaaan," ujar Netty dalam rapat kerja dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin dan BPOM, Rabu (2/11/2022).
Jika hilangnya nyawa dianggap biasa, kejadian serupa pasti akan terulang kembali. Karenanya, ia menuntut pertanggungjawaban pemerintah terhadap keselamatan dan perlindungan rakyat Indonesia.
"Saya menuntut pertanggungjawaban pemerintah terhadap keselamatan dan perlindungan rakyat Indonesia, khususnya anak-anak Indonesia sebagai calon pemimpin bangsa," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Anggota Komisi IX Saleh Partaonan Daulay menilai pemerintah belum maksimal menangani kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal yang menyerang anak-anak. Pemerintah perlu bekerja maksimal dan tak saling menyalahkan antara Kemenkes dan BPOM.
"Pemerintah belum bekerja maksimal. Masih saling tunggu antara kemenkes dan BPOM belum bersinergi. Malah cenderung pada kesan saling menyalahkan," ujar Saleh.
Khusus untuk BPOM, ia menyorot pengawasan lembaga tersebut lemah dalam terjadinya kasus gagal ginjal akut tersebut. Upaya pengawasan terkesan baru dilakukan setelah terjadinya lonjakan kasus.
Tugas BPOM seharusnya memastikan obat yang dipasarkan lolos uji dan tidak berbahaya untuk dikonsumsi masyarakat. Bukannya malah menjadi penyebab hilangnya nyawa manusia, khususnya anak-anak.
"Tentu ini harus dilacak dari hulu ke hilir dan distribusi obat. Kita berharap persoalan ini bisa diusut tuntas, yang bersalah bisa diberikan hukuman yang setimpal," ujar Saleh.
Ketua Komisi IX DPR Felly Estelita Runtuwene mengatakan, kasus gagal ginjal akut kepada anak menjadi perhatian khusus pihaknya. Bahkan, ia mengingatkan potensi pelanggaran terhadap keamanan kesediaan farmasi dalam kasus tersebut.
"Berdasarkan Pasal 188 Jo Pasal 196 UU Kesehatan menyatakan, setiap orang dengan sengaja memproduksi dan mengedarkan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, dipidana paling lama 10 tahun dan denda 1 miliar rupiah," ujar Felly.
Ia juga mengingatkan potensi pelanggaran dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam kasus gagal ginjal akut. Terutama Pasal 8 dan Pasal 62 undang-undang tersebut.
"Perihal pertanggungjawaban perusahaan farmasi atas kerugian materiil dan immateriil atas kerugian yang terjadi dengan pidana maksimal 5 tahun dan denda paling banyak 2 miliar rupiah," ujar Felly.