Kamis 03 Nov 2022 03:32 WIB

Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otsus Papua Bentukan Pemerintah Dikritisi 

Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otsus Papua sedikit dalam merespons situasi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Ketua MPR for Papua Yorrys dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih asal Papua, Yorrys Raweyai
Foto: Nugroho Habibi/Republika
Ketua MPR for Papua Yorrys dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih asal Papua, Yorrys Raweyai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR for Papua Yorrys Raweyai mengkritisi langkah pemerintah membentuk Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Menurut Yorrys, tujuan dan peran kelembagaan tersebut mengingatkan pada Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang dibentuk pada 2011.

Yorrys meragukan efektivitas kinerja lembaga tersebut sebab dalam praktiknya, UP4B tidak berjalan seperti yang diharapkan. “Lembaga semacam UP4B sebelumnya tidak cukup sensitif terhadap akar masalah yang sedang melanda Papua," kata Yorrys dalam keterangannya, Rabu (2/11/2022).

Baca Juga

Selain itu seperti halnya UP4B, Yorrys menganggap Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otsus Papua sedikit dalam merespons situasi konfliktual yang saat ini sedang terjadi. Belum lagi, kebijakan otonomi khusus sebagai legal transitional justice atau kebijakan transisional dalam memproteksi dan mengafirmasi Orang Asli Papua serta seluruh kepentingan di dalamnya terkesan kehilangan arah.

"Sebab, tidak menyediakan ruang transisi yang memadai bagi percepatan pembangunan itu sendiri,” ujarnya.

Yorrys menyatakan, tidak ada satu nomenklatur aturan pun yang mengarahkan kerja-kerja Badan Pengarah Papua ini untuk melibatkan wakil rakyat di tingkat pusat maupun daerah, baik itu DPR, DPRP, DPRK dan DPRP serta DPD yang justru lebih mampu memberi masukan sosiologis dan politis. Bagi Yorrys, persoalan Papua dewasa ini tidak sekedar berkutat pada persoalan pembangunan infrastruktur fisik, pemerintahan dan keuangan, tapi juga kesiapan kultural yang justru senantiasa menjadi hambatan-hambatan psikologis dalam merespons berbagai persoalan.

“Elemen-elemen masyarakat yang selama ini bersuara banyak tentang persoalan Papua tidak dilibatkan secara aktif. Padahal pemerintah memerlukan strategi bottom up dalam menggali informasi tentang bagaimana masyarakat merespons percepatan pembangunan yang mereka rasakan,” ujarnya.

Ketua Komite II DPD RI itu mencontohkan pembangunan jalan trans papua untuk pembangunan jalan dan pembukaan isolasi yang bertujuan baik. Namun, justru dipandang sebagai ancaman dan terkesan sebagai proyek yang tidak sepenuhnya menyelesaikan persoalan. 

Di sisi lain, masyarakat Papua terus mempersoalkan kekerasan demi kekerasan serta pelanggaran hak asasi manusia yang masih saja terjadi. Dengan demikian, menurutnya, proyek percepatan pembangunan ini tidak berkorelasi efektif, efesien, dan relevan dengan kondisi masyarakat pada tataran akar rumput.

“Saya meminta pemerintah mempertimbangkan ulang desain kinerja Badan Pengarah Papua agar tidak jatuh ke dalam kegagalan yang sama di masa lalu. Pemerintah tidak boleh terkesan menyentralisasi persoalan Papua dan meminggirkan suara-suara bising di daerah yang direpresentasikan oleh para wakil rakyat dan perwakilan masyarakat adat yang memperoleh legitimasi politis, sosial dan kultural di mata publik Papua. DPR, DPD dan DPRD serta MRP harus dilibatkan dalam proses percepatan tersebut," kata dia mendesak.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement