REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG - Rabi Alan Brill, seorang pendeta Yahudi sekaligus profesor Seton Hall University Amerika Serikat, mengatakan paham radikal sesungguhnya sudah ada sejak dahulu. Akan tetapi kini paham radikal mulai tersebar akibat penggunaan media sosial.
"Dari media sosial itu ada beberapa orang yang sebenarnya tidak berkualitas atau kurang cakap, tidak pintar, tapi mereka menggunakan media itu untuk menyebarkan pemahaman radikal," kata Alan dalam konferensi pers di Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (3/11/2022).
Penyebaran paham radikal melalui media sosial itu mengakibatkan banyak orang mengadopsi pemikiran tersebut dan mendukung pemikiran ekstremisme. Menurut Alan, kelompok garis keras sesungguhnya sudah ada sejak dulu. Namun, penyebarannya yang pesat sehingga terjadi peningkatan munculnya kelompok ekstremisme itu disebabkan oleh pengaruh media sosial.
"Jadi, menurut saya, ada faktor yang melatarbelakangi munculnya atau berkembangnya ekstremisme, terutama di wilayah perkotaan," tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Alan juga mengisahkan bahwa sebelum abad ke-21, dialog-dialog keagamaan dipenuhi oleh narasi mengenai toleransi modern dan rekonsiliasi. "Sayangnya, pada abad 21, ekstremis dari masa lalu, teks-teks dari buku-buku yang bernuansa ekstremis, mendadak kembali ke permukaan. Tiba-tiba saja orang-orang mulai mempraktikkan itu lagi," katanya.
Oleh karena itu, melalui forum R20 Alan berharap para pemimpin agama dapat membangun hubungan antaragama yang harmonis, baik melalui dialog dalam forum besar maupun dialog dengan antarumat beragama. Forum Agama G20 atau R20 digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bersama dengan Liga Muslim Dunia atau Muslim World League (MWL) di Nusa Dua, Bali, sejak Rabu (2/11/2022) hingga Kamis (3/11/2022).
Sebanyak 338 partisipan dari 32 negara terkonfirmasi hadir pada perhelatan R20, yang 124 di antaranya berasal dari luar negeri. Forum tersebut menghadirkan 45 pembicara dari lima benua.