RUU Energi Baru dan Terbarukan Belum Perkuat Industri Manufaktur Lokal
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
RUU Energi Baru dan Terbarukan Belum Perkuat Industri Manufaktur Lokal (ilustrasi). | Foto: republika/mgrol100
REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Dewan Perwakilan Rakyat tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Saat ini, menunggu Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah untuk menyelesaikan RUU tersebut.
Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengatakan, kehadiran RUU ini untuk menjawab persoalan ketergantungan Indonesia kepada energi fosil. Sekaligus, sebaliknya berusaha meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan.
Sugeng menyebut, untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri pemerintah mengimpor 900 ribuan barel per hari memenuhi kebutuhan 1.580 ribu barrel setiap hari. Sedangkan, sumur minyak kita hanya mampu menghasilkan 500-610 ribu barel saja.
"Bila tidak ditemukan cekungan minyak yang baru, sumber minyak kita hanya bertahan 11 tahun saja," kata Sugeng dalam FGD Kunjungan Kerja Legislasi RUU EBET VII DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023, Kamis (3/11).
Walau sumber daya energi gas alam melimpah, pemerintah melakukan impor dalam bentuk liquified petroleum gas (LPG) dengan nilai impor mencapai Rp 80 triliun. Ini untuk memenuhi kebutuhan kompor gas skala rumah tangga setiap keluarga.
Cadangan batubara dalam negeri cukup melimpah yang selama ini banyak diekspor ke luar. Konsumsi batubara dalam negeri 142 juta ton per tahun untuk pembangkit listrik. Namun, menyumbang emisi karbon yang jumlahnya terus dikurangi.
Sebab, pemerintah menargetkan nol emisi karbon pada 2060. Energi fosil sudah menjadi masalah ekonomi dan ekologi, sehingga penggunaan energi baru dan terbarukan jadi kebutuhan dengan target net zero emission pada 2060 mendatang.
Pengamat energi dari Fakultas Teknik UGM, Dr Tumiran menilai, kemunculan RUU ini harus diikuti dukungan dari Peraturan Pemerintah (PP). Libatkan banyak instansi, kementerian, BUMN mendukung program pengembangan industri manufaktur.
"Jika RUU ini disahkan, maka ada 12 PP yang diperlukan, takutnya PP tidak sejalan dengan UU," ujar Tumiran.
Pemerintah sebelumnya sudah menyusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 2025 pemakaian Energi Baru Terbarukan 23 persen kebutuhan energi nasional. Tidak tercapai karena tidak didukung kementerian, bahkan saling lempar tanggung jawab.
Semua orang seolah ingin mengambil peran itu, selama ini koordinasi tidak jalan. Seharusnya ESDM, Kemenkeu, BUMN dan Kementerian Perindustrian harus ikut. Percepatan penggunaan energi baru terbarukan harus mendukung pertumbuhan ekonomi.
Bagi Tumiran, pengembangan energi baru dan terbarukan bila dilakukan serius akan mampu menumbuhkan penciptaan lapangan kerja. Dengan tumbuh dan berkembanganya industri manufaktur lokal yang mampu menghasilkan produk EBT dari dalam negeri.
"Saya tidak melihat pasal-pasal dalam RUU ini bisa menciptakan ekonomi baru. Bagaimana ekonomi dan lapangan kerja kita bisa tercipta. Jangan sampai nanti kita pakai produk dari luar dan kita akan hutang," kata Tumiran.
Peneliti Pusat Studi Energi (PSE) UGM Prof Deendarlianto menilai, untuk mencapai target pemerintah mencapai net zero emissions pada 2060 diperlukan peningkatan penggunaan bauran energi EBT 2,32 persen per tahun. Setara 3-4 Giga Watt.
Soal pengembngan manufaktur lokal untuk pengembangan pengunaan energi baru dan terbarukan ini disarankan menyesuaikan dengan area kebutuhan. Contohnya, penggunaan panel surya dengan industri manufaktur berkembang di Jawa dan Riau.
Sedangkan, penggunaan panel surya lebih banyak diperlukan di Indonesia bagian timur. Dari RUU ini, ia berpendapat, kita perlu memperkuat industri manufaktur nasional dengan menjadikan pengembangan SDM di pendidikan-pendidikan vokasi.
"Serta, regulasi pendukung sesuai proyeksi kemampuan industri dalam negeri dalam rangka meningkatkan kapasitas SDM dan kemandirian teknologi dan ekonomi nasional ," ujar Deendarlianto.