NII Crisis Center: Masyarakat Perlu Diberi Edukasi Masif Soal Terorisme
Red: Fernan Rahadi
Perempuan membawa pistol menodong Paspampres di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (25/10/2022) pagi WIB | Foto: istimewa
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan turut prihatin adanya opini bahwa seolah persoalan terorisme itu seolah merupakan stigmastisasi pemerintah terhadap agama Islam.
Pernyataan Ken ini menanggapi ditangkapnya seorang wanita benama Siti Elina (SE) yang hendak menerobos masuk ke Istana dengan membawa pistol beberapa waktu lalu. Ironisnya, pasca kejadian itu, muncul komentar seorang tokoh yang mengatakan bahwa kasus tersebut merupakan bentuk stigmatisasi pemerintah terhadap umat Islam.
Bahkan tokoh itu meminta masyarakat jangan percaya terhadap terorisme karena merupakan bagian dari agenda pemerintah menjelang akhir tahun dan tahun politik.
"Narasi tersebut sangat berbahaya karena sebagian masyarakat yang minim literasi dapat terpengaruh dengan narasi stigmatisasi agama dan tidak adanya ancaman terorisme yang hanya sekedar rekayasa," ujar Ken di Jakarta, Kamis (3/11/2022).
Menurutnya, perlu edukasi yang lebih masif lagi dari segenap elemen untuk menyebarkan bahwa melawan terorisme bukan proses stigmatisasi agama, tetapi justru menyelamatkan agama dari fitnah yang di lakukan kelompok teror.
Ken mengungkapkan bahwa memang ada sebuah fakta ada orang yang belajar dengan guru yang salah, akhirnya menafsirkan dan mengaplikasikan ayat ayat jihad dengan cara yang salah pula. Hal itulah yang dialami oleh SE dimana mendapat doktrin dan pengaruh dari gurunya dan suaminya yang juga terungkap menjadi bendahara NII Jakarta Utara.
Menurut Ken, Ideologi NII tidak akan pernah mati, justru saat ini cukup masif, terutama di kalangan perempuan. Hal itu dibuktikan dengan beberapa pelaku aksi terorisme yang melibatkan kaum perempuan. Sebelum kasus SE, kejadian penyerangan Mabes Polri juga dilakukan oleh seorang perempuan, juga bom bunuh diri di Surabaya dan Makassar.
"Perempuan lebih rentan karena bila sudah bergabung dengan NII atau HTI dan terikat pernikahan, maka dia ketaatan pada kelompoknya lebih kuat," ungkapnya.
Bahkan, lanjut Ken, banyak laporan pengaduan kasus yang diterima NII Crisis Center akhir akhir ini adalah perempuan, tidak sedikit yang berpendidikan S1 dan S2 di perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Ia juga mendorong dibuatnya regulasi untuk melarang ideologi-ideologi yang diusung kelompok-kelompok tersebut di Indonesia. Menurutnya, ini penting karena jelas ideologi-ideologi itu bertentangan dengan ideologi bangsa.