REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Holding BUMN Industri Pertambangan atau MIND ID mematok target pengurangan emisi karbon di tiap perusahaannya 28 persen 2030 mendatang. Direktur Hubungan Kelembagaan MIND ID Dany Amrul Ichdan mengaku upaya ini sudah berlangsung sejak 2020.
Menurutnya, Grup MIND ID telah mengimplementasikan program carbon reduction dan carbon offset yang dapat mengurangi emisi GRK sejumlah lebih dari 400 ribu ton C02e atau sebesar 28 persen dari target pengurangan emisi pada tahun 2030.
"Setiap anggota memiliki target terhadap pengurangan karbon, sehingga target Net Zero Emission (NZE) di 2060 serta pengurangan karbon sebanyak 28 persen di 2030 dapat tercapai," kata Dany dalam keterangan, Jumat (4/11/2022).
Deputy Head of Site PT Trimegah Bangun Persada (PT TBP) Primus Priyanto menuturkan, pihaknya menerapkan tiga prinsip utama untuk mendukung upaya Holding MIND ID. Yakni pengurangan atau mengontrol emisi, penggunaan energi terbarukan, dan penyerapan gas buang.
Untuk pengurangan gas buang, PT TBP, salah satu unit usaha HARITA Nickel, rutin melakukan kegiatan pemeliharaan peralatan tambang dan juga kendaraan yang digunakan. "Terdapat program pemeliharaan alat setiap 250 jam operasi, 500 jam dan 1.000 jam operasi. Melalui pemeliharaan rutin, diharapkan gas buang dari semua alat produksi dan kendaraan pendukung dapat terkontrol dengan baik," kata Primus.
Kedua, mewujudkan prinsip penggunaan energi terbarukan, di area living quarter atau mess. Menurut Primus, lampu penerangan di sekitar jalan kantor dan tempat tinggal karyawan sebagian sudah menggunakan solar panel. Selanjutnya, PT TBP juga memiliki komitmen tinggi pada kegiatan reklamasi, khususnya kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman reklamasi.
Melalui komitmen ini, diharapkan emisi gas buang, mampu diserap tanaman yang ditanam dan pelihara. "Total penanaman kami di IUP PT TBP dan afiliasinya sampai dengan 2021 sudah lebih dari 200 hektare dimana per hektare ada sekitar 1.100 tanaman. Sehingga kalau ditotal sudah lebih dari 200 ribu tanaman yang kami tanam sejak beroperasinya penambangan pada 2010," kata Primus.
Lebih lanjut, ia optimistis, dengan beberapa upaya yang sudah dilakukan dapat mengurangi emisi hingga 31 persen pada 2030. "Salah satu langkah yang perlu dikaji secara komprehensif adalah peningkatan penggunaan energi terbarukan melalui penggunaan peralatan atau kendaraan listrik. Langkah ini perlu melibatkan banyak unsur, termasuk pelaku usaha (tambang) dan juga produsen peralatan tambang," ujarnya.
Pengamat Ekonomi dan Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, nikel memiliki prospek yang sangat bagus dalam jangka panjang. Lantaran nikel tidak hanya bisa dijadikan bahan baku baterai kendaraan listrik, melainkan juga dipoles menjadi produk lain bernilai ekonomi tinggi.
"Jangka panjang nikel memiliki prospek yang bagus. Kebijakan larangan ekspor ini sudah tepat. Apalagi, produk turunan nikel juga berpotensi memiliki nilai ekonomi tinggi dan bisa meningkatkan devisa negara," kata Fahmy.
Lebih lanjut, ada tiga hal yang perlu dilakukan pemerintah agar industri nikel makin bersinar. Pertama, pemerintah perlu menciptakan serta menjaga ekosistem nikel. Terutama soal kapasitas produksi.
Kedua, inovasi produk turunan nikel dengan fokus pada riset dan pengembangan, serta berkolaborasi dengan banyak pihak. Ketiga dan yang cukup penting adalah adanya transfer teknologi. Sumber daya besar, tapi teknologinya masih perlu banyak belajar.
"Saya berkeyakinan harga mobil listrik bisa jauh lebih murah jika ekosistemnya berjalan dan komponen teknologi serta adanya komitmen bersama dari pemerintah," tegasnya.