Jumat 04 Nov 2022 17:55 WIB

Netanyahu akan Kembali Berkuasa 

Kemenangan Netanyahu menjanjikan berakhirnya kebuntuan politik Israel.

Rep: Lintar Satria/ Red: Friska Yolandha
Mantan Perdana Menteri Israel dan ketua partai Likud, Benjamin Netanyahu dan istrinya Sara memberi isyarat setelah hasil exit poll pertama untuk pemilihan Parlemen Israel di markas partainya di Yerusalem, Rabu, 2 November 2022.
Foto: AP/Tsafrir Abayov
Mantan Perdana Menteri Israel dan ketua partai Likud, Benjamin Netanyahu dan istrinya Sara memberi isyarat setelah hasil exit poll pertama untuk pemilihan Parlemen Israel di markas partainya di Yerusalem, Rabu, 2 November 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel Yair Lapid memberikan selamat atas kemenangan Benjamin Netanyahu. Ucapan ini disampaikan 48 jam setelah tempat pemungutan suara ditutup.

Komisi Pemilihan Umum Pusat Israel mengumumkan alokasi kursi untuk parlemen Israel atau Knesset yang memberi Netanyahu dan sekutu politiknya 64 kursi. Cukup untuk membentuk pemerintahan mayoritas.

Baca Juga

Presiden Isaac Herzog akan mulai menggelar konsultasi dengan politisi mengenai pembentukan pemerintahan yang baru setelah hasil pemilu diresmikan pada 9 November. Kembalinya Netanyahu sebagai kepala pemerintah dapat memicu perubahan mendasar bagi masyarakat Israel.

Pemerintahan Netanyahu dipastikan mencakup nasionalis Yahudi radikal, aliansi Religious Zionism/Jewish Power. Kelompok yang pemimpin-pemimpinnya termasuk Itamar Ben Gvir pernah divonis karena penghasutan atas motif rasialis dan mendukung terorisme.  

Saat ditanya mengenai kekhawatiran masyarakat ia akan memimpin pemerintah ekstrem kanan. Netanyahu meresponnya dengan menyinggung partai Ra'am yang merupakan partai Arab pertama yang masuk dalam koalisi pemerintah Israel tahun lalu.

"Kami tidak ingin memerintah dengan Ikhwanul Muslimin, yang mendukung terorisme, menolak keberadaan Israel dan cukup bermusuhan pada Amerika Serikat, itu apa yang akan kami bawa," kata Netanyahu pada CNN, Kamis (3/11/2022) malam waktu setempat.

Kemenangan Netanyahu menjanjikan berakhirnya kebuntuan politik yang telah melumpuhkan Israel selama tiga setengah tahun terakhir. Namun agendanya di pemerintahan yang baru termasuk merombak sistem hukum dan penindakan keras pada Palestina dapat memperparah perpecahan negara Israel dan berisiko memicu permusuhan dari sekutu-sekutu terdekat Israel.

Pada Kamis kemarin Israel menggelar pemilu kelima sejak 2019 lalu. Seperti pemilu keempat pemilihan ini juga yang dianggap sebagai referendum mengenai kelayakan Netanyahu memimpin sementara ia didakwa atas kasus korupsi.

Meski di pemilu sebelumnya berakhir dengan kebuntuan kali ini Netanyahu berhasil unggul dengan memanfaatkan terpecahnya dan tidak terorganisirnya oposisinya. Lapid telah menginstruksikan stafnya untuk mempersiapkan proses transisi kekuasaan.

"Negara Israel yang paling penting sebelum pertimbangan politik apapun, saya berhadap Netanyahu berhasil demi rakyat dan negara Israel," katanya.

Netanyahu dan sekutu ultranasionalis dan ultra-Ortodoksnya mendapatkan 64 dari 120 kursi di Knesset. Oposisi yang dipimpin Lapid hanya memenangkan 51 kursi termasuk faksi Arab yang kecil. Netanyahu masih menggelar negosiasi dengan mitra-mitranya tapi diperkirakan akan membentuk koalisi dalam beberapa pekan ke depan.

Pemilihan kali ini fokus pada nilai-nilai yang bertujuan mendefinisikan negara Israel: negara Yahudi atau demokratis. Pada akhirnya pemilih Israel memilih identitas Yahudi mereka.

Religious Zionism yang merupakan sekutu Netanyahu dan paling kejam terhadap Palestina dan sangat anti-Arab akan menjadi partai terbesar ketiga di parlemen. Ben-Gvir ingin mengakhiri otonomi Palestina di daerah pendudukan Tepi Barat dan mengabadikan pendudukan Israel di tanah Palestina.

 

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement