Sabtu 05 Nov 2022 06:21 WIB

Peringatan Jokowi Soal Resesi Global Bukan untuk Menakuti Publik

Perlambatan ekonomi negara maju berdampak sudah ke Indonesia.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Indira Rezkisari
Sejumlah karyawan berjalan usai bekerja di Jakarta, Senin (24/10/2022). Berdasarkan data Center of Economics and Law Studies (Celios), adanya resesi global?yang diprediksi terjadi pada 2023 bisa berdampak terhadap gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), karena tahun 2022 pertumbuhan ekonomi global hanya berkisar 3,2 persen, sementara di tahun 2020 mencapai 6,1 persen.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Sejumlah karyawan berjalan usai bekerja di Jakarta, Senin (24/10/2022). Berdasarkan data Center of Economics and Law Studies (Celios), adanya resesi global?yang diprediksi terjadi pada 2023 bisa berdampak terhadap gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), karena tahun 2022 pertumbuhan ekonomi global hanya berkisar 3,2 persen, sementara di tahun 2020 mencapai 6,1 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, peringatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang ancaman resesi global bukan untuk menakut-nakuti masyarakat. Menurut dia, hal itu disampaikan Jokowi agar Indonesia lebih waspada terhadap kondisi pasar global.

Dunia saat ini tengah mengalami perlambatan ekonomi termasuk di negara maju, serta tengah menghadapi ancaman krisis energi, pangan, dan krisis keuangan global akibat naiknya tensi geopolitik.

Baca Juga

Moeldoko pun menilai kondisi tersebut sudah berdampak ke Indonesia. Perlambatan pertumbuhan negara-negara maju menyebabkan permintaan terhadap barang ekspor berkurang. Akibatnya nilai ekspor dan impor Indonesia turun, sehingga bisa berdampak pada nilai surplus perdagangan.

“Dampaknya terhadap perekonomian kita tentu saja ada, tapi tidak terlalu besar. Karena sejauh ini komponen utama PDB kita adalah konsumsi rumah tangga (dalam negeri). Kita harus tetap optimistis dan terus waspada,” kata Moeldoko, dikutip dari siaran pers KSP pada Sabtu (5/11/2022).

Ia mengatakan, secara makro pemerintah dan otoritas moneter telah melakukan antisipasi melalui kebijakan, baik fiskal maupun moneter. Yakni, Bank Indonesia menjalankan tugasnya untuk meredam kenaikan inflasi melalui berbagai instrumen.

Sementara pemerintah pusat maupun daerah berupaya mengendalikan harga dengan memperkuat skema bantuan sosial agar dapat menjadi bantalan bagi masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah. Moeldoko juga mengungkapkan, pada 2023, APBN akan berperan sebagai peredam kejut (shock absorber) dan digunakan seefektif mungkin untuk pengendalian inflasi, menjaga daya beli, dan menjaga momentum pemulihan ekonomi Indonesia.

“Mulai 2023 kita akan kembali ke defisit anggaran maksimal tiga persen terhadap PDB, seperti sebelum pandemi Covid-19,” jelas Moeldoko.

Meski demikian, Moeldoko menegaskan, perekonomian Indonesia masih mampu bertahan saat dunia terancam resesi. Ekonomi Indonesia, kata dia, tetap akan tumbuh meski pertumbuhannya melambat.

“Masyarakat tidak perlu khawatir. Ekonomi tetap tumbuh meski trennya slowdown. Jadi yang punya banyak uang silakan belanjakan uangnya, karena itu akan menjaga perekonomian kita terus bergerak,” kata Moeldoko.

Sebagai informasi, ekonomi Indonesia tumbuh 5,4 persen di kuartal II dan diproyeksikan berada di atas 5,5 persen pada kuartal III. Indikator dari sisi konsumsi seperti indeks penjualan ritel dan indeks keyakinan konsumen, maupun dari sisi produksi seperti PMI Manufaktur juga masih memberikan sinyal positif.

Dari sisi eksternal, neraca dagang surplus 29 bulan berturut-turut. Per akhir September 2022, neraca pembayaran surplus sebesar 39,9 miliar dolar AS. Sementara untuk cadangan devisa berada di level 130,8 miliar dolar AS dan dapat membiayai 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Adapun terkait dengan inflasi, per Oktober turun di level 5,7 persen (year on year) dari sebelumnya 5,9 persen (year on year). Secara bulanan justru terjadi deflasi 0,11 persen, yang utamanya bersumber dari deflasi di sektor makanan dan minuman sebesar 0,97 persen. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada penyesuaian harga BBM bersubsidi, namun harga-harga kebutuhan pokok masyarakat masih terkendali.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement