REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie melihat polemik soal data kerap menjadi perdebatan klasik di Indonesia. Dia menilai, akar persoalannya adalah adanya ego sektoral yang berdampak pada beragamnya varian data yang dirilis masing-masing lembaga pemerintahan.
"Polemik soal data kerap menjadi perdebatan klasik. Jika dirunut, akar persoalannya juga masih sama, yakni soal ego sektoral yang pada akhirnya berdampak pada beragamnya varian data yang dirilis oleh masing-masing lembaga pemerintahan. Implikasinya, data-data yang berbeda dapat menghasilkan tafsir yang berbeda-beda dengan implikasi kebijakan yang berbeda pula,” kata Ahmad dalam siaran pers, Sabtu (5/11/2022).
Hal itu dia sampaikan saat menjadi pembicara kunci dalam seminar dan diskusi publik bertajuk “Mengurai Persoalan Basis Data dalam Penyusunan Arah Kebijakan dan Desain Arsitektur Kesehatan Nasional.” Kegiatan itu digelar oleh Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (Poskolegnas) UIN Syarif Hidayatullah di Jakarta.
Seminar dilakukan untuk merespons pengalaman dunia yang gagap dalam menghadapi situasi darurat pandemi Covid-19 membuat kesadaran akan restrukturisasi arsitektur kesehatan global menjadi meningkat. Penguatan arsitektur kesehatan global bahkan menjadi isu prioritas dalam Presidensi G-20 Indonesia 2022 sebagai kunci pemulihan global yang kuat dan berkelanjutan.
Terdapat tiga strategi kebijakan yang perlu didorong Forum Presidensi G20 dalam upaya memperkuat arsitektur kesehatan global. Pertama, menyusun dan membangun mekanisme global health fund. Kedua, membuka akses penanggulangan darurat kesehatan. Dan ketiga, penguatan mekanisme berbagi data yang tepercaya dengan pembentukan platform genome sequence data secara global.
Ahmad mengatakan, salah satu kunci peningkatan arsitektur kesehatan global adalah ihwal ruang akses dan informasi data. Melihat pengalaman awal Covid-19, distribusi informasi dan data yang tidak merata justru menjadi penghambat penanggulangan pandemi. Ahmad mencontohkan, saat itu data sekuens genom hanya dapat diakses oleh Moderna dan BioNTech. Padahal, data tersebut dibutuhkan banyak negara sebagai bagian mitigasi, termasuk pembuatan vaksin.
Tak hanya soal pandemi, di Indonesia ketidakcocokan alias diskrepansi data kerap terjadi antarkementerian dan lembaga. Tak jarang ditemukan beberapa kementerian atau lembaga memiliki datanya masing-masing untuk satu hal yang sama.
Direktur Eksekutif Poskolegnas Nur Rohim Yunus mengamini adanya tantangan terhadap harmonisasi data, terutama dalam sektor kesehatan. Meski demikian, ia menilai pemerintah, termasuk Kementerian Kesehatan, sejatinya terus membangun sistem informasi kesehatan yang lebih kokoh sebagai bekal penguatan arsitektur kesehatan nasional.
Ia menambahkan, jika merujuk pada Perpres 39/2021 tentang Satu Data Indonesia, pemerintah sejatinya telah berupaya menciptakan soliditas data yang berfaedah sebagai basis perencanaan dan perumusan kebijakan nasional. Semangatnya untuk menyatukan berbagai data ke dalam satu wadah agar tidak memunculkan kebingungan terhadap keabsahan data itu sendiri.
Sebuah isu akan dapat dipersepsikan berbeda jika pijakan datanya berbeda, sehingga perumusan kebijakan berbasis data tak akan terjadi secara efektif, transparan dan akurat.