Oleh : Ilham Tirta, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Sidang kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat telah berjalan lebih dari dua pekan. Namun, sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan masih minim mengungkap pokok perkara yang didakwakan. Penggalian fakta dan motif pembunuhan masih sedikit dilakukan. Bahkan dalam pekan ini, 31 Oktober - 2 November 2022, sidang hanya berputar pada penyampaian emosi dan permintaan maaf. Andai kata semua bisa diselesaikan dengan 'maaf', maka damailah dunia. Namun, hukum kita tak berjalan demikian.
Keluarga besar Brigadir J telah bertemu langsung dengan lima terdakwa pembunuhan berencana. Bharada Richard Eliezer (E), Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma'ruf, dan Bripka Ricky Rizal. Khusus untuk kedua orang tua Brigadir J, pertemuan itu sangatlah emosional. Entah berapa kali air mata Rosti Simanjuntak terkuras dalam ruang persidangan. Puaskah Samuel Hutabarat, setelah menatap langsung wajah Ferdy Sambo dan Putri tanpa topeng masker? Saya kira tidak, kecuali netizen yang sudah mulai membosan. Ibu dan ayah Brigadir J itu mungkin harus lebih siap dalam pekan-pekan ke depan.
Beruntunglah ada Susi dan Vera Simanjuntak, dua saksi yang menjadi pembeda dalam sidang pekan ini. Susi dalam kesaksiannya menceritakan apa yang dia lihat dan dengar terkait motif pembunuhan Brigadir J di Magelang, Jawa Tengah. Intinya, pembantu rumah tangga Sambo itu mengaku melihat Brigari J berdiri di samping sofa tempat Putri Candrawathi rebahan. Di dapur samping ruang tamu itu, ia mendengar ada teguran kepada J karena ingin membopong Putri menuju kamar lantai atas. Teguran itu datang dari Kuat Ma'ruf dan Eliezer.
Tentu saja pengakuan ini harus dibuktikan. Utamanya oleh hakim yang menguji Susi habis-habisan. Susi yang awalnya mengatakan Brigadir J telah mengangkat badan Putri kemudian mengubah pengakuannya; baru mau diangkat. Sementara, Eliezer membantah menegur Brigadir J kala itu. Namun, Eliezer tak ragu melihat adegan J yang hendak mengangkat badan Putri.
Sidang berakhir dengan ancaman hakim kepada Susi. Pernyataan wanita itu akan dikonfrontir dengan saksi pelaku lainnya, yaitu Kuat Ma'ruf. Susi akan langsung ditetapkan sebagai tersangka pemberian keterangan palsu jika tak mampu mempertahankan ceritanya atau ketika Kuat ikut membantahnya.
Susi bagaimana pun tampak bukan wanita yang tegar untuk menghadapi sidang kasus sebesar itu. Beberapa kali ia terdiam oleh hentakan pertanyaan hakim. Susi sedianya akan dikonfrontir dalam sidang Kuat Ma'ruf pada Rabu (2/11), namun entah mengapa agenda itu urung terlaksana.
Sementara Vera Simanjuntak bersaksi tentang komunikasi terakhirnya dengan Brigadir J, mendiang calon suaminya yang malang. Vera berhasil mengungkap suasana kebatinan J sebelum tewas dibunuh Sambo. Ada rentetan terarah yang dinarasikan Vera dalam persidangan. Pertama, J mengaku memiliki masalah besar yang harus ditanggungnya sendiri. Kedua, J seperti merasa tidak 'pantas' lagi menjadi calon suami Vera. Ketiga, J mengungkap kekesalannya pada situasi di Magelang, sehari sebelum pembunuhan, termasuk ancaman pembunuhan dari Kuat jika berani naik ke lantai dua. Lantai itu belakangan merujuk pada kamar Putri Sambo.
Setidaknya ada dua hal yang harus digali pengadilan dari kesaksian Susi dan Vera. Pertama, masalah besar apa yang dihadapi Brigadir J hingga meminta Vera mencari sosok lelaki lain? Persidangan harus bisa menggali masalah J tersebut kepada lima terdakwa untuk mematahkan motif spontanitas dalam rencana pembunuhan. Bahwa itu sebuah akumulasi masalah, dan bukan sekadar kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi seperti yang dituduhkan. Mungkin.
Kedua, soal kebenaran Brigadir J yang ingin membopong tubuh Putri seperti kesaksian Susi. Peristiwa yang disebut sebagai awal kekerasan seksual itu menjadi rancu mengingat itu dilakukan di depan Eliezer dan Kuat. Hal seperti itu hanya mampu dilakukan oleh orang yang sudah biasa dengan circle-nya atau dalam istilah sudah 'sama-sama tahu'. Yang pasti, peristiwa itu dibenarkan Eliezer yang saat ini menjadi Justice Collaborator atau penembak mati Brigadir J yang sepakat untuk mengungkap kebenaran.
Apalagi, Brigadir J dalam telepon terakhirnya dengan Vera mengaku kesal dengan tuduhan telah membuat Putri Candrawathi sakit. Sulit dibayangkan bahwa Brigadir J dengan suasana batin seperti itu kemudian mengendap ke lantai dua, masuk kamar Putri, dan melakukan kekerasan seksual. Lebih jauh, Brigadir J yang disebut tertangkap basah melakukan kebejatan semacam itu masih 'biasa-biasa' saja pulang ke rumah Ferdy Sambo di Jakarta Selatan dan menghadapi mautnya.
#Sosok Sambo
Sementara, penampakan Ferdy Sambo sepanjang sidang kasus Brigadir J begitu mengesankan. Entah apa rencana yang dipikirkan, ia kini seperti antitesa dari apa yang digambarkan masyarakat luas selama ini; jenderal polisi tempramental, sadis, bahkan mafia. Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik bahkan sempat menduga Sambo sebagai sosok psikopat.
Sambo setidaknya sudah tiga kali menyampaikan permohonan maaf secara meyakinkan, terakhir kepada kedua orang tua Brigadir J. Sambo mengakui pembunuhan itu, menyesalinya, bertanggung jawab penuh atasnya, dan berharap sidang yang adil mengungkap kebenaran. Dengan begitu, dia kembali kepada alasan pembunuhan itu, yakni perlakuan Brigadir J yang disebut 'kurang ajar' kepada istrinya. Sambo mengunci motif tersebut sebagai biang dirinya emosional yang berakhir fatal.
Motif, apalagi dalam pembunuhan berencana, sangatlah penting. Jika motif Sambo yang dipakai, maka itu sangat mungkin menghindarkannya dari hukuman maksimal. Apalagi Sambo, 'mengakui dan menyesali perbuatanya' dan 'telah meminta maaf kepada keluarga korban' dan 'berlaku sopan dalam persidangan'. Bukankah itu selalu menjadi pertimbangan sejuta hakim dalam meringankan hukuman para terdakwa. Karena itu, motif lain seperti yang diharapkan keluarga Brigadir J harus juga didengarkan.
Sidang, bagaimana pun akan sampai pada keterangan saksi fakta. Betapa pun sulit kasus ini, jaksa dan hakim harus bisa menyingkap tabir tebalnya. Kasus pembunuhan ajudan yang dilakukan mantan kepala Divisi Propam Polri itu telah mengambil banyak dari kepolisian, keluarga korban, maupun publik luas. Jika penyelesainnya tidak tuntas, maka tidak akan membayar apa-apa. Berkaca pada sidang kasus KM 50 yang misterius, pihak lain juga harus didengarkan.