Sabtu 05 Nov 2022 16:55 WIB

Din: Kesetaraan Menjadi Prasyarat Dialog Timur-Barat

Dalam Forum Bahrain, Din Syamsuddin menanggapi wacana dialog Timur-Barat.

Cendekiawan Muslim yang juga tokoh Muhammadiyah, Prof Din Syamsuddin
Foto: dok. Istimewa
Cendekiawan Muslim yang juga tokoh Muhammadiyah, Prof Din Syamsuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Tokoh-tokoh agama dalam Forum Dialog Bahrain menyepakati pentingnya mewujudkan rasa persaudaraan dalam kerja sama kemanusiaan (al-ta'ayusy al-insan). Kesimpulan itu tercapai dalam sesi penutupan acara tersebut, yang telah digelar di Manama, ibu kota Bahrain, selama dua hari (3-4/11/2022).

Dalam tahap akhir forum tersebut, tampil Raja Bahrain Hamad bin Isa al-Khalifa, Grand Syekh Universitas al-Azhar Prof Ahmad Muhammad al-Tayyib, serta Paus Fransiskus. Mereka menjadi pembicara utama. Adapun hadirin Forum Dialog Bahrain terdiri atas sekira 300 tokoh lintas agama, akademisi, serta figur pemerintahan.

Baca Juga

Dari Indonesia, hadir sejumlah tokoh, yakni mantan menteri agama RI Prof Quraish Shihab; ketua Ikatan Alumni al-Azhar Indonesia TGB Dr Zainul Majdi; serta ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) dan World Peace Forum Prof Din Syamsuddin.

Menanggapi pandangan Prof Ahmad al-Tayyib tentang dialog Timur-Barat, Din Syamsuddin menilai adanya sejumlah prasyarat terkait dialog tersebut. Guru besar ilmu politik Islam UIN Syarif Hidayatullah itu menerangkan, salah satu prasyarat itu adalah kesetaraan. Dalam arti, baik Timur maupun Barat sama-sama dipandang setara, bukan superior ataupun inferior.

"Selama ini, Barat memosisikan diri sebagai pihak superior yang memandang Timur secara minor. Hal inilah yang menyebabkan adanya ketakadilan global dewasa ini," kata Din dalam pernyataan tertulis yang diterima Republika, Sabtu (5/11/2022).

Ketua umum PP Muhammadiyah 2005-2015 itu meneruskan, prasyarat lainnya ialah adanya rasa saling membutuhkan dari masing-masing pihak. Timur memerlukan Barat dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Adapun Barat memerlukan Timur dengan khazanah nilai moral dan kekayaan sumber daya alam.

"Kemudian, perlu segera menghentikan sikap fobia dan kecenderungan untuk mendeskreditkan pihak lain," jelasnya.

photo
Forum Dialog Bahrain menghadirkan para tokoh agama dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. - (DOK IST)

 

Forum Dialog Bahrain menambah banyaknya prakarsa positif bagi terwujudnya dialog antarperadaban, yang mencitakan perdamaian dunia. Dalam kaitannya dengan peran Indonesia, kata Din, prakarsa juga datang dari Tanah Air. Misalnya, penyelenggaraan World Peace Forum VIII yang dijadwalkan berlangsung menjelang Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta, Jateng.

Acara itu akan dihadiri 150 tokoh dari sekitar 30 negara, baik tokoh agama, akademisi, dan pencipta perdamaian lainnya. Forum Perdamaian Dunia ini adalah kegiatan dwitahunan sejak 2006, diselenggarakan oleh CDCC, dan Chengho Multiculture Education Trust. "Untuk tahun 2022 ini, tuan rumah adalah Universitas Muhammadiyah Surakarta," ucap Din.

Baik World Peace Forum maupun Dialog Bahrain bervisi meneguhkan saripati agama, yakni menebar rahmat bagi sekalian alam. Di Manama, Grand Syekh al-Azhar berpidato perihal tiga asas persaudaraan dan kerja sama kemanusiaan, yang disarikannya dari kandungan Alquran.

Ketiganya adalah adanya kemajemukan sebagai ketentuan Ilahi; kebebasan hakiki dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia; serta perlombaan dalam kebenaran yang berujung pada perebutan prestasi termulia: menjadi insan bertakwa.

Atas dasar itulah, menurut Syaikhul Azhar, dialog Timur-Barat harus dikembangkan. "Praduga, sentimen, dan kebencian antar kedua pihak harus segera dihentikan. Benturan antar peradaban harus digantikan dengan dialog dan kerja sama antar peradaban," ujarnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement