REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA--Majelis Masyayikh melakukan sosialisasi mengenai Undang-Undang Pesantren (UU) di Pesantren Idrisiyyah, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, Senin (7/11/2022). Sosialisasi itu dilakukan agar pesantren dapat memahami keberadaan regulasi itu.
Tenaga Alhi Majelis Masyayikh, Abdul Waidi, mengatakan, saat ini masih banyak sekali pesantren yang belum mengetahui keberadaan UU Pesantren. Karena itu, sosialisasi itu diperlukan untuk meluaskan pemahaman tentang UU Pesantren. "Masih banyak sekali orang yang belum mengerti UU Pesantren," ujar dia di Pesantren Idrisiyyah, Senin.
Setelah itu, Majelis Masyayikh akan ikut menyusun kriteria kualitas atau mutu pendidikan pesantren. Artinya, ke depan harus ada standar kompetensi kelulusan yang harus dicapai di pendidikan pesantren. "Tujuannya, agar lulusan pesantren makin kuat," ujar dia.
Selain itu, Abdul mengatakan, pihaknya ingin meluaskan komunikasi dengan Dewan Masyayikh melalui sosialisasi yang dilakukan. Itu dianggap penting agar terbentuk komunikasi yang membangun antara Majelis Masyayikh di level nasional dengan Dewan Masyayikh di sekitar 37 ribu pesantren.
Ia menjelaskan, disusunnya kompetensi dinilai penting untuk memastikan mutu pendidikan pesantren makin baik. Dengan begitu, lulusan pesantren dapat mengakses haknya sebagai masyarakat sipil lulusan lembaga lainnya.
Menurut Abdul, selama ini ada banyak lulusan pesantren yang tidak diakui negara. Artinya, lulusan pesantren tidak bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi atau mengakses lowongan kerja."UU Pesantren memberi kepastian agar lulusan pesantren bisa mendapatkan itu semua. Tentu ada proses, tapi saat ini sudah ada payung hukumnya yang jelas," kata dia.
Selain itu, melalui UU Pesantren, pesantren yang selama ini dianggap komunitas di luar negara, dapat dilibatkan untuk mencapai visi dan misi negara. Padahal, pesantren ada dalam negara."Jadi sekarang pesantren memiliki kesetaraan dengan warga negara yang lain," kata dia.
Abdul mengatakan, dengan adanya regulasi, pemerintah bisa memfasilitasi pesantren. Salah bentuk fasilitasi yang akan dilakukan adalah memberikan bantuan operasional sekolah (BOS) kepada santri salafiyah. Selain itu, pemerintah juga dapat memfasilitasi santri untuk mendapatkan beasiswa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Ia juga berharap, negara dapat membantu kebutuhan infrastruktur pesantren. "Ini tentu perlu pendekatan ke pemerintah daerah. Namun di Jawa Barat, dengan adanya Perda Pesantren, saya kira memberikan mandat yang baik agar fasilitasi itu bisa dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pemda," kata dia.
Meski begitu, ia mengingatkan, pesantren juga harus menempuh mekanisme yang ada. Sebab, fasilitasi yang diberikan pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan."Artinya, pesantren harus melek akuntabilitas. Tidak mungkin dana negara diberikan tapi tidak ada pertanggungjawaban. Itu perlu kami sampaikan kepada para pengasuh," ujar Abdul.
Sementara itu, Pimpinan Pesantren Idrisiyyah, Syekh Akbar Muhammad Faturrahman, mengaku sangat mengapresiasi keberadaan UU Pesantren. Dengan UU Pesantren itu, pemerintah saat ini telah memgakui pesantren sebagai lembaga pendidikan.
Ia menambahkan, keberadaan UU Pesantren juga bisa mengikat kebersamaan pesantren, bahwa Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. "Ini jadi sangat penting. Jangan sampai ada pesantren yang di dalamnya ada doktrin menyeleweng," kata dia.
Syekh Akbar menambahkan, rencana penyusunan kriteria kompetensi yang menjadi mandat dalan UU Pesantren itu juga bukan bertujuan untuk melebur pesantren menjadi satu warna. Lebih dari itu, keberagaman pesantren akan tetap terjaga dengan penguatan kompetensi.
Selain itu, Syekh Akbar juga mengingatkan, dengan adanya UU Pesantren, pesantren tetap harus mandiri. Karena kemandirian itu menjadi khas pesantren. "Apalagi ajaran islam itu ada kemandirian, di mana kita tak berpangku terhadap pemberian orang," kata dia.