Selasa 08 Nov 2022 06:09 WIB

Mahar atas Perempuan Korban Pemerkosaan dalam Islam

Para perempuan itu tidak dapat dijatuhi hukuman had atau hukuman apapun juga.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Agus Yulianto
Korban perkosaan (ilustrasi)
Foto: Blogspot.com
Korban perkosaan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam merupakan agama yang memuliakan perempuan. Salah satu buktinya adalah diwajibkannya mahar bagi setiap laki-laki yang hendak menikahi perempuan. Lantas bagaimana hukum mahar terhadap perempuan korban pemerkosaan? 

Imam Syafii dalam kitab Al-Umm menjabarkan sebuah riwayat. Rabi mengabari kami, dia berkata, Imam Syafii mengabari kami, dia berkata mengenai orang yang memaksa seorang perempuan merdeka atau seorang budak perempuan untuk dia setubuhi bahwa para perempuan itu memiliki hak atas mahar yang layak. 

Selain itu, para perempuan itu tidak dapat dijatuhi hukuman had atau hukuman apapun juga. Sementara bagi pelaku pemerkosaan harus dijatuhi hukuman rajam jika pelaku beristri, dan hukuman dera berikut pengasingan jika pelaku belum menikah. 

Muhammad bin Hasan menyatakan, "Tidak ada hukuman had terhadap ereka berdua, dan tidak ada hukuman apapun juga terhadap mereka (korban pemerkosaan). Sementara pelaku pemerkosaan harus dijatuhui hukuman had, tetapi dia tidak harus menyerahkan mahar. Karena hukuman had dan mahar tidak dapat muncul pada satu kasus yang sama,". 

Imam Syafii berkata, "Apabila seseorang menjadi pezina, maka hukuman had harus dijatuhkan pada dirinya sebelum dia membujuk perempuan itu. Dan dia tidak dapat keluar dari status hukum zina disebabkan bujukan itu. Bujukan itu juga tidak menambah apapun selain hanya menambah dosa,". 

Rabi berkata, "Pendapat yang diikuti oleh Imam Syafii berkata apabila seseorang bersumpah untuk melakukan sesuatu perbuatan pada waktu tertentu, lalu ternyata orang itu mati sebelum waktu yang ditentukan itu tiba, atau dia melewatkan apa yang dia sumpahkan itu, bahwa dia akan mengerjakannya sebelum waktu yang ditentukam tiba, maka dia tidak dianggap sebagai pelanggar sumpah karena dia dipaksa,". 

Kemudian, kata Imam Syafii, apabila dia bersumpah untuk melakukan suatu perbuatan, tetapi dia tidak menyebutkan waktu tertentu, lalu memungkinkan baginya untuk melakukan perbuatan itu, tetapi dia tidak melakukannya sampai mati, atau dia luput melakukan apa yang dia sumpahkan, maka dia adalah pelanggar sumpah. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement