Rabu 09 Nov 2022 00:05 WIB

Bayi Prematur di Bawah Enam Bulan, Nasabnya Ikut Siapa?

Islam mengatur hukum-hukum terkait kelahiran bayi.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Ani Nursalikah
Ilustrasi Kaki Bayi. Bayi Prematur di Bawah Enam Bulan, Nasabnya Ikut Siapa?
Foto: Pixabay
Ilustrasi Kaki Bayi. Bayi Prematur di Bawah Enam Bulan, Nasabnya Ikut Siapa?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umumnya bayi lahir pada usia kandungan ibu mencapai sembilan bulan. Namun dalam beberapa kasus, kelahiran bayi secara dini (prematur) bisa saja terjadi. Bagaimana Islam mengatur hukum-hukum yang berkaitan dengan itu?

Dalam buku Sumber Rujukan Permasalahan Wanita yang diterbitkan oleh Lajnah Bahsul Masail Madrasah Hidayatul Mubtadien Ponpes Lirboyo Kediri dijelaskan minimal masa hamil itu adalah enam bulan lebih sedikit. Masa itu terhitung mulai waktu yang mungkin digunakan suami istri bersetubuh setelah akad nikah.

Baca Juga

Sedangkan pada umumnya, masa hamil adalah sembilan bulan dan paling lama adalah empat tahun (Al-Bajuri pada bab pertama). Sehingga jika ada bayi yang lahir setelah masa enam bulan lebih sedikit setelah pernikahan, maka nasabnya ikut kepada suami. Demikian pula jika lahir sebelum empat tahun dari masa cerai atau wafat.

Hal ini terhitung dari masa mungkinnya hamil atau wafat. Berbeda jika lahir sebelum masa enam bulan setelah pernikahan atau setelah empat tahun dari perceraian atau wafat, maka nasabnya tidak kepada suami (I'anatut Thalibin pada bab keempat).

Bulan yang dibuat ukuran minimal, umum, dan maksimalnya masa hamil adalah 30 hari, tidak menggunakan bulan penanggalan. Sedangkan untuk permasalahan aborsi, ketika aborsi dilakukan setelah usia kandungan 120 hari (setelah ditiupnya ruh) maka hukumnya haram.

Sedangkan aborsi sebelum kandungan berusia 120 hari maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Imam Ibnu Hajar (sebagaimana pendapat yang paling muttajih/kuat), hukumnya haram. Sedangkan menurut Imam Romli hukumnya tidak haram.

Aborsi beda halnya dengan menggunakan alat kontrasepsi. Untuk menggunakan alat kontrasepsi, ada beragam hukum mengenai itu. Jika penggunaan alat tersebut bisa menyebabkan tidak bisa hamil selamanya, maka hukumnya haram. Apabila penggunaan alat kontrasepsi hanya untuk memperpanjang jarak kehamilan dan tidak ada uzur, maka hukumnya makruh.

Dan apabila penggunaan alat kontrasepsi itu untuk memperpanjang jarak kehamilan, dan dilatarbelakangi oleh adanya uzur, seperti demi kemaslahatan merawat anak karena kahwatir terlantar dan lainnya, maka hukumnya tidak makruh.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement