REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA – Alih guna lahan hutan dan deforestasi dikhawatirkan bakal memicu penyebaran penyakit malaria. Hal ini disampaikan sejumlah ilmuwan dalam Kongres One Health Sedunia ke-2 di Singapura yang berlangsung sepanjang 7-11 November 2022.
Menurut Asisten Profesor Inke Nadia Lubis dari Universitas Sumatera Utara, resiko ini terkait penyebaran malaria melalui parasit Plasmodium knowlesi. Jenis penyakit malaria tersebut sejauh ini masih bersifat zoonosis, utamanya melalui monyet ekor panjang alias Macaca fascicularis. Penularan dari hewan tersebut sejauh ini melalui nyamuk Anopheles latens dan Anopheles cracens yang merupakan vektor penyakit malaria monyet.
"Deforestasi menyempitkan habitat hidup monyet ekor panjang kian dekat dengan manusia sehingga meningkatkan potensi penularan," ujar Inke di Singapura, Selasa (8/11/2022).
Sedangkan di Kalimantan Utara, deforestasi atau alih fungsi lahan hutan juga mendekatkan pemukiman warga ke wilayah perbatasan dengan Malaysia, utamanya wilayah Sabah yang kebanyakan penyakit malarianya merupakan jenis Plasmodium knowlesi. "Sementara kita tak bisa menghalang-halangi monyet atau nyamuk untuk melintasi batas negara," kata Inke bertamsil.
Menurut Inke, penyebaran penyakit malaria tersebut telah terdeteksi di wilayah-wilayah yang mengalami deforestasi dan alih fungsi lahan hutan di Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Sebab itu, diperlukan penelitian mendalam untuk mengetahui sejauh mana dampak deforestasi tersebut terhadap penyebaran penyakit malaria kedepannya.
Seperti malaria jenis lainnya, parasit Plasmodium knowlesi juga menyebabkan gejala demam, menggigil, dan nyeri otot. Keluhan lainnya meliputi sakit kepala, mual-mual, dan diare. Gejala gangguan pencernaan dan menurunnya trombosit lebih menonjol pada kasus malaria monyet ketimbang jenis lainnya.
Greenpeace Indonesia melansir, dalam lima tahun terakhir telah terjadi deforestasi seluas 2,13 juta hektare (ha) hutan. Jumlah Tersebut mencapai setengah total deforestasi sepanjang 12 tahun sebelumnya (2003-2014) yang meliputi 4,19 juta ha hutan.
Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim, Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,03 persen sepanjang periode 2019-2020, hingga berada pada angka 115,46 ribu ha. Jumlah ini menurun dibandingkan deforestasi pada 2018-2019 seluas 462,46 ribu ha.
Sedangkan Prof Indra Vythilingam dari University of Malaya, Malaysia, menyatakan bahwa malaria jenis Plasmodium knowlesi saat ini merupakan tantangan terbesar terkait pemberantasan penyakit malaria di Asia Tenggara. Sekitar 70 hingga 80 persen penyakit malaria di Malaysia belakangan digolongkan dalam jenis ini.
Dan kondisi ini bisa kian mengkhawatirkan karena sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa nyamuk sudah mulai beradaptasi terhadap metode pemberantasan yang awam dilakukan belakangan. "Misalnya nyamuk tak lagi berlama-lama di dalam rumah, langsung pergi setelah menggigit," ujarnya di Singapura. Hal itu untuk menghindari penyemprotan obat anti serangga oleh manusia.
Sejauh ini, pengobatan dengan Ivermectin yang merupakan obat antiparasit masih ampuh untuk mengobati malaria. Namun kedepannya, perlu metode pemberantasan yang lebih mumpuni terkait penyakit ini. Ia juga meyakini, merebaknya Plasmodium knowlesi terkait deforestasi. "Nyamuk-nyamuk ini keluar karena deforestasi," kata dia.