REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) memperkirakan perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh baik pada 2023 dan memiliki risiko rendah untuk terjerumus dalam resesi.
Meski begitu, Indonesia diperkirakan akan mengalami perlambatan ekonomi. Menurut IMF, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan diprediksi 5,0 persen, melambat dibandingkan proyeksi di tahun 2022 yang sebesar 5,3 persen.
Chief Investments Officer PT Insight Investments Management (INSIGHT), Camar Remoa menjelaskan, ada beberapa faktor yang membuat kondisi perekonomian Indonesia masih lebih kuat dibandingkan negara-negara lain. Pertama, kinerja neraca dagang Indonesia hingga Agustus 2022 tercatat selalu positif, ditopang peningkatan ekspor komoditas batu bara, kelapa sawit, dan nikel yang solid.
"Bahkan total nilai surplus neraca dagang sepanjang delapan bulan di tahun 2022 sudah hampir menyamai pencapaian neraca dagang Indonesia sepanjang tahun 2021," kata Camar dalam keterangannya, Rabu (9/11).
Kedua, kinerja neraca dagang Indonesia yang kuat pada tahun 2022 ini mampu menyokong nilai tukar rupiah, sehingga depresiasi rupiah saat ini tidak separah mata uang negara-negara lain. Ketiga, pada sepanjang 2022 pergerakan yield Surat Berharga Negara (SBN) tidak setinggi negara lain. Hal ini disebabkan oleh outflow terjadi pada porsi kepemilikan investor asing di SBN yang terus menurun sejak periode pandemi Covid-19.
"Dengan porsi kepemilikan investor asing yang sudah mulai terbatas yaitu hanya sebesar 14,7 persen per 23 September 2022, harapannya capital outflow pada pasar obligasi sudah mulai mereda," jelas Camar.
Keempat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih tumbuh positif per 26 September 2022 dan mampu membukukan net inflow dibandingkan 2021. Hal ini sejalan dengan realisasi pertumbuhan laba bersih emiten IHSG sepanjang 2022 sebesar 24 persen YoY dan tahun depan diprediksi masih akan tumbuh 6 persen YoY.
Kelima, rasio net ekspor-impor Indonesia terhadap real GDP Indonesia saat ini memiliki nilai yang tidak signifikan, yaitu 5,66 persen. Angka ini mencerminkan eksposur Indonesia terhadap aktivitas ekonomi dunia relatif terbatas, sehingga apabila dunia mengalami tekanan atau resesi global, dampaknya terhadap ekonomi Indonesia akan relatif terbatas.
"Kondisi ini berbeda jauh dengan negara yang memiliki rasio net ekspor-impor terhadap Real GDP jauh lebih tinggi, misalnya Singapura yang bisa mencapai angka 29 persen," terangnya.
Keenam, aktivitas konsumsi masyarakat Indonesia yang tetap mendukung pertumbuhan. Nilai Consumer Confidence Index (CCI) dan Retail Sales Index (RSI) Indonesia naik signifikan sepanjang tahun 2022. Nilai indeks tersebut pada September 2022 masih di atas pre-pandemic level, yakni angka CCI di atas 110 dan angka RSI di atas 200, menunjukkan aktivitas konsumsi masyarakat Indonesia yang kuat.