Rabu 09 Nov 2022 16:56 WIB

Pandangan Islam untuk Gerhana Matahari dan Bulan

Pada masa Rasulullah SAW, pernah terjadi gerhana matahari.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Pandangan Islam untuk Gerhana Matahari dan Bulan. Foto:   Gerhana Bulan Total atau Super Blue Blood Moon. Ilustrasi
Foto: Express.co.uk
Pandangan Islam untuk Gerhana Matahari dan Bulan. Foto: Gerhana Bulan Total atau Super Blue Blood Moon. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Seorang Muslim memandang setiap peristiwa kosmik sebagai tanda kekuasaan dan keberadaan Allah. Seorang Muslim selalu memohon kepada Allah SWT di setiap saat, terutama pada saat-saat gerhana matahari dan bulan, ketika dia membutuhkan bantuan-Nya.

Pada masa Rasulullah SAW, pernah terjadi gerhana matahari. Orang-orang bergegas menghubungkan ini dengan peristiwa duniawi, yaitu kematian putra Nabi Ibrahim. Nabi lantas menjelaskan kebenaran hal ini kepada mereka.

Baca Juga

Dalam Shahih-nya, Imam Muslim melaporkan bahwa Aisyah r.a. berkata, "Ada gerhana matahari di masa Rasulullah. Dia berdiri untuk berdoa dan memperpanjang posisi berdirinya."

Nabi Muhammad lantas membungkuk dan memanjangkan rukunya. Dia juga mengangkat kepalanya dan memperpanjang berdirinya, namun lebih pendek dari durasi berdiri pertama. Setelahnya Nabi membungkuk dan dengan durasi panjang, tetapi kurang dari durasi membungkuk pertamanya. Dia kemudian sujud dan kemudian berdiri dan memperpanjang waktu berdiri, tapi itu kurang dari berdiri pertama.

Selanjutnya Nabi juga digambarkan membungkuk dengan durasi cukup panjang, lalu mengangkat kepalanya, berdiri, dan rukuk panjang yang waktunya kurang dari ruku yang pertama. Rasulullah SAW kemudian bersujud, berbalik dan matahari telah menjadi cerah, dan dia berbicara kepada orang-orang.

Dia memuji Allah SWT dan berkata, "Matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah; mereka tidak terhalang karena kematian siapa pun atau karena kelahiran siapa pun. Maka ketika kamu melihat mereka, bertasbihlah dan berdoalah kepada Allah, Shalat, bersedekah.” (Al-Bukhari)

Dalam bukunya, The Prescribed Prayer Made Simple, Sheikh Tajjuddin B. Shu`aib, Direktur Masjid Raja Fahd di Culver City, California, AS, menulis Kusoof (gerhana matahari) adalah terputusnya sebagian atau seluruh cahaya matahari ketika bulan berada di antara bulan dan bumi.

Dilansir di About Islam, Selasa (8/11/2022), orang biasa mengasosiasikan fenomena yang tidak biasa ini dengan beberapa alasan takhayul. Ketika terjadi gerhana matahari pada saat wafatnya putra Nabi Ibrahim di Madinah, sebagian orang mengaitkannya dengan kematiannya.

Oleh karena itu, Nabi mengambil kesempatan untuk mengoreksi anggapan keliru orang-orang tentang gerhana matahari. Nabi memerintahkan seseorang untuk mengumumkan “as-salatu jami`ah”, yaitu bahwa Shalat harus dilakukan di depan umum.

Ketika orang-orang ini berkumpul, Rasulullah pun memimpin mereka dalam Doa. Setelah itu ia berkata, “Gerhana matahari atau bulan hanyalah tanda-tanda Allah. Mereka tidak terjadi untuk kematian atau kehidupan siapa pun. Setiap kali Anda melihat mereka, bersegeralah untuk Sholat.” (Muslim)

Salat al-kusoof (Sholat gerhana matahari) adalah sunnah muakkadah (sunnah yang dikonfirmasi) baik untuk pria dan wanita yang beriman, yang mana lebih baik dilaksanakan secara berjamaah di masjid. Adapun waktunya dari awal gerhana sampai habis.

Tidak ada adzan untuk shalat ini, tetapi harus tetap diumumkan, seperti yang dinyatakan sebelumnya dengan “as-salatu jami`ah”. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, shalat kusoof adalah dua rakaat, namun jamaah membungkuk dua kali di setiap rakaat, bukan sekali.

Pada rakaat pertama setelah al-Fatihah, seseorang membaca surat panjang atau pendek. Seseorang kemudian mengatakan "allahu akbar" dan membungkuk dalam ruku yang panjang. Saat seseorang berdiri, dia berkata, "sami` Allahu liman hamidah, rabbana lakal-hamd."

Seseorang kemudian mengatakan “Allahu akbar” dan membungkuk untuk kedua kalinya tetapi tidak terlalu lama. Saat seseorang berdiri, dia berkata, “sami` Allahu liman hamidah, rabbana lakal-hamd".

Saat seseorang kembali berdiri tegak, ia mengucapkan “allahu akbar” dan kemudian jatuh dalam sujud. Seseorang memulai rakaat kedua dengan mengucapkan “allahu akbar” Raka'ah kedua harus dilakukan seperti yang pertama. Setelah shalat, imam dapat memberikan khotbah yang membimbing.

Salat al-khusoof (Sholat gerhana bulan) sama dengan salatal-kusoof (Sholat gerhana matahari). Pembacaan al-Fatihah dapat dilakukan dengan suara keras atau diam-diam. 

Sumber;

https://aboutislam.net/counseling/ask-the-scholar/muslim-creed/solar-and-lunar-eclipses-in-islam/

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement